Epilog

3.7K 453 46
                                    

Jevin

Mungkin ini adrenalin. Atau serotonin. Atau endorfin. Atau hormon apapun itu yang dikeluarkan oleh tubuh kita yang membuat kita... apa ya? Doesn't feel like our usual self?

Oke, aku meracau. Tapi melihat dia disana, diatas panggung dengan gitarnya dan senyum lebar serta matanya yang berbinar-binar jujur lumayan membuat jantung ini degupnya sedikit melewati tempo biasanya. Ini memang gak seperti biasanya. Setiap kali Jevin mengajakku untuk nonton dia manggung, aku selalu merasa gak seperti biasanya. Entah kenapa.

Mungkin karena senyumnya yang terlampau lebar saat berhasil menyelesaikan satu lagu. Mungkin karena kerut di keningnya setiap kali dia berusaha serius dengan chord yang sedang ia mainkan. Mungkin juga karena binar di matanya setiap kali ia mendapati audiens ikut bernyanyi bersama dia.

Aku yang hanya berdiri dan memperhatikanya dari sini aja bisa tahu kalau musik dan panggung adalah cinta sejatinya. More than anything, it's his life. His sparks of fire. His everything.

If only you know, Jev... If only you know...

***

Brian

Aku harus mengakui ini kepada kalian semua, aku ini brengsek. Disaat ratusan cewek-cewek lain mendambakan dia, menginginkan dia, dan bahkan memperebutkan dia, aku disini telah mendapatkan hatinya tanpa perlu berusaha; dia bahkan menyerahkannya dengan sukarela. Tapi apa yang bisa aku berikan buat dia? Nothing. Aku malah menjadikannya yang kedua.

Don't get me wrong, aku sudah berusaha melepaskannya, menyuruhnya pergi, sampai berkali-kali melarikan diri. Tapi semua itu gak ada hasilnya, karena sebagian besar hati ini masih tertambat pada dia dan senyumnya yang gak pernah gagal membuat aku selalu jatuh dan enggan untuk bangkit lagi. Senyum yang selalu membuat aku yakin bahwa everything will be fine. Everything will be okay. I will be okay, and he will guarantee that with his life.

Melihat dia berdiri dan tersenyum dengan penuh kebahagiaan diatas panggung kayak begini rasanya kayak ditampar sama kesadaran. Kurang ajar banget ya perempuan satu ini tega-teganya mempermainkan seseorang setulus dia. Seseorang yang rela dikesampingkan, yang rela jadi juara kedua... tapi tetap bertahan di tempatnya tanpa sedikitpun mempertanyakan validitas statusnya dalam hubungan kita.

Dia tersenyum lebar setelah menyelesaikan lagu pertama, dan mata kita bertemu untuk beberapa saat. Aku membalas senyumnya, tapi lebih dari apapun yang ingin kulakukan sekarang adaah meminta maaf.

Brian, maaf... aku terlalu egois untuk disayangi kamu.

***

Devan

Aku ingat pertama kali kita ketemu dulu pas SMA. Dia dengan headsetnya dan tangan yang bergerak menirukan gerakan-gerakan drumming—yang sebenarnya sangat komikal jika mengingat situasi dan kondisi tempat kita dipertemukan waktu itu. Meski begitu, satu hal yang membuatku langsung tertarik pada laki-laki ini: dia punya passion.

Aku selalu suka orang yang punya passion karena itu berarti hidup mereka punya tujuan, gak sekedar ada, makan, bekerja, buang air, repeat kemudian berakhir pada kematian. Orang-orang yang punya passion gak akan pernah bingung kemana mereka harus melangkah karena meski udah mentok sekalipun mereka akan dituntun kembali ke jalannya oleh passion yang mereka miliki. Dan Devan adalah orang-orang seperti itu.

Devan diatas panggung malam ini membuat aku menyadari apa yang bikin aku masih dan akan terus jatuh cinta sama cowok satu ini; passion-nya untk drum. Untuk musik. Untuk hidup.

Aku tersenyum saat dia membuka matanya setelah berhasil menyelesaikan satu verse. Dia nyengir lebar.

Terus tersenyum kayak gitu ya, Dev. Aku disini akan melakukan apapun buat menjaga senyum itu.

***

Sandhi

Him on stage is what I love the most.

Kalau boleh sombong, selain ibunya, aku adalah orang yang beruntung bisa jadi saksi seorang Sandhi diluar semua wibawa dan status dia sebagai seorang pejabat kampus yang cukup disegani. Mulai saat dia lagi terlalu senang sampai saat dia terlalu sedih ataupun terlalu marah, aku hampir selalu ada disana menemaninya. Dan dari semua ekspresi dia ketika senang sedih maupun marah, ekspresi dia saat dia sedang berada diatas panggung adalah ekspresi favoritku.

Seorang Sandhi Mulai Ramadhan yang terkenal tegas dan selalu serius, bisa menanggalkan semua entitasnya di kampus sebagai ketua BEM saat dia sudah berdiri diatas panggung dengan gitarnya. Sandhi akan terlihat relaxed dan immersed dalam setiap petik gitar yang dihasilkan oleh jemarinya—seolah-olah tidak ada orang lain di tempat ini selain dia. Lagunya. Dan gitarnya.

Aku tersenyum bangga diantara lautan penonton yang mengelu-elukan namanya malam ini. That, right there, with the biggest most beautiful smile on his face... that's my man.

***

Irwan

People look their best when they're doing something they love.

Aku harus setuju dengan pernyataan ini because he definitely looked his best when he's standing right there behind his instruments; singing and creating music with his godly fingers. Irwan diatas panggung bagaikan seorang magician yang dari jemarinya dapat keluar keajaiban-keajaiban berupa alunan melodi-melodi indah yang diramu jadi satu dengan suaranya dan 4 personil band-nya yang lain. It was magical, to say the least.

Mungkin ini akan terdengar aneh tapi menurutku Irwan terlihat paling Irwan ketika diatas panggung. Jangan ketawa dulu, maksudku... kalau kalian mengenal Irwan off-stage dengan segala pemikiran kritis dan ambisinya, kalian pasti akan mengerti. Diatas panggung sana, Irwan adalah Irwan yang jatuh cinta pada piano dan bernyanyi sejak umur 6 tahun dan menekuninya meski lingkungannya tidak terlalu mendukung hal itu. Diatas sana Irwan adalah Irwan tanpa predikat mahasiswa berprestasi maupun IPK tertinggi satu angkatan. Diatas sana, Irwan adalah Irwan.

Dan dari segala versi Irwan yang ia tunjukkan kepada dunia, versi inilah yang akan menjadi favoritku sampai kapanpun.

THE END

Songfic - Enam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang