#5 Dialog Hujan - Irwan (Wonpil)

3K 523 36
                                    

Gue gak suka hujan. Maaf ya buat para hopeless romantics diluar sana, tapi menurut gue gak ada yang romantis dari hujan; khususnya hujan di Jakarta. Macet. Becek. Belum lagi kalau banjir. Masih mau bilang kalau hujan itu romantis?

Oke, gue mulai kedengeran kayak para realis congkak. Maaf, maaf.

Mungkin buat mengimbanginya, gue harus mengakui ini; gue gak suka hujan, tapi gue suka suasana setelah hujan turun. Sebelum hujan, Jakarta tuh kayak anak bocah abis main seharian dan belum mandi; lepek, bau, kucel, kusem, gerah, sumuk... you name it. Tapi kemudian hujan datang seperti ibunya si anak bocah tadi yang nyamperin dia terus nyeret dia pulang sambil dijewer abis itu dimandiin sampe bersih sehingga anak itu jadi wangi, cakep, ganteng, dan adem.

"Heran deh gue sama lo. Bisa-bisanya gak suka hujan tapi suka hasil yang disebabkan oleh hujan. Padahal kan buat dapet hasil itu, harus hujan dulu yang which is merupakan hal yang gak lo suka"

Satu lagi yang gue suka selain suasana setelah hujan, adalah debat-debat gak penting gue dan seorang pecinta hujan yang sedang duduk manis di boncengan motor gue malem ini.

"Ya terus kenapa? Gue gak akan keberatan kalau semesta punya cara lain buat bikin suasana kayak gini tanpa harus ada hujan dulu sebelumnya" gue mengendikkan bahu merespon ucapannya barusan.

"Well flash news, alam belum punya cara lain untuk mendapatkan suasana ini kalau bukan karena hujan. If anything, lo seharusnya berterimakasih sama hujan dong karena udah memberikan lo hal yang lo cintai" dia menyerocos dengan semangat.

Gue tertawa. Gue selalu suka sesi perdebatan konyol diatas motor malam hari sama dia. Habis kita nongkrong biasanya dia akan minta nebeng sama gue sampe rumah karena kebetulan rumah kita memang searah, dan selama perjalanan gak pernah nggak kita isi dengan obrolan slash perdebatan-perdebatan tentang hal-hal yang samasekali minim substansi. Mungkin kita berdua udah sama-sama lelah mikir hal-hal penuh substansi setiap harinya jadi kesempatan ini semacam excercise untuk kita buat tetap menggunakan otak kita tanpa harus menambah kerutan di kening.

"Kenapa gue harus berterimakasih sama hujan? If anything, harusnya yang gue terimakasih-in si Pencipta hujan, dong" balasnya menirukan gaya bicara dia.

Dia diam untuk beberapa detik. Kemudian gue merasakan bahu gue ditonjok pelan.

"Fine, Wan. Satu kosong buat lo" ujarnya masam.

Gue tertawa lagi. Dia lucu banget kalau udah ngambek gara-gara kalah argumen sama gue begini.

Malam semakin larut dan udara semakin dingin.

"Lo tuh ya, kebiasaan keluar malem ga pernah pake jaket" ujar gue saat melirik refleksi dia dari spion motor gue.

Dia hanya tertawa kecil. "Gak suka ah, gerah"

Gue menggeleng. Mana gerahnya sih, kan kalau habis hujan tuh pasti dingin kecuali kalau habis kena heatwave tuh baru gerah. Kadang gue gak habis pikir sama jalan pikir ini anak satu.

"Masuk angin lo ntar"

"Nggak gak akan. Tenang aja" dia mengangguk mantap.

"Bener ya gak masuk angin? Awas besok tiba-tiba minta tipsen gara-gara meriang"

Satu tonjokan lagi melayang ke bahu gue. "Hidiiih, kok lo ngedoain sih"

"Lho siapa yang ngedoain kan gue cuma mengingatkan. Pokoknya gue gak mau tipsenin kalau lo besok meriang gara-gara masuk angin" ujar gue santai.

Dia mendengus. "Ih yaudah, gue minta tipsenin yang lain aja"

"Idiiih  gitu" gue meledeknya sambil tertawa puas.

Dia masih cemberut. Gue tertawa lagi.

Di lampu merah, motor gue berhenti. Jemari gue mengetuk-ngetuk stang dengan ragu, pasalnya benak gue mulai meneriakkan perintah untuk menggamit tangan dia dan menghangatkannya karena gue tau dia pasti kedinginan. Gue yang udah berbalut hoodie begini aja masih berasa dingin, lha dia yang cuma pakai kaus doang gimana?

Jam di pergelangan tangan gue menunjukkan waktu hampir tengah malam. Gue lirik dia dari spion. Dia tampak serius memperhatikan jalanan dan lampu-lampu kota yang berkerlip cantik malam ini. Dia sadar gak sih kalau lampu-lampu itu masih kalah cantik sama dirinya sendiri?

Sepuluh detik lagi lampu merahnya akan segera berubah jadi kuning, kemudian hijau. Benak gue makin ribut meneriakkan perintah tadi.

Genggam tangannya lo bego ya. Sekarang atau nggak sama sekali.

Bacot.

Ye dibilangin batu, nyesel baru tau rasa.

Gue berdecak pelan. Iya iya gue nyerah.

Gue melepaskan genggaman gue dari stang dan dengan ragu meraih tangan dia yang ia letakkan di pahanya. Gue genggam dengan hati-hati kemudian gue selipkan di saku jaket gue. Sekarang rasanya dia seperti sedang memeluk pinggang gue dari belakang.

Dia gak bereaksi apa-apa.

Gue senyum-senyum dibalik helm.

"Biar gak dingin" kata gue, tepat setelah itu lampu berubah hijau.

Motor gue kembali melesat membelah jalanan yang masih basah akibat hujan tadi. Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Tapi gue merasa hangat.

Gue harap dia juga.



Tanpa kata, tanpa nada

Rintik hujan pun menafsirkan kedamaian

Hanya rasa, hanya prasangka

Yang terdengar di dalam

Dialog hujan

Dialog Hujan – Senar Senja

Songfic - Enam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang