"Kamu ngapain disini?"
Kalau ada yang bilang lebih baik sakit hati daripada sakit gigi, untuk kali ini gue terpaksa gak setuju. Sumpah, gue lebih baik sakit gigi 7 hari 7 malam daripada harus menghadapi dia dan tatapannya yang sekarang rasanya gak jauh beda kayak hujan paku payung buat hati gue. Perih.
Dia, berdiri di depan gerbang kosannya menatap gue dengan tajam dan lengan yang tersilang di depan dada—sebuah gestur perlindungan diri seolah-olah gue orang jahat yang mau ngejambret dia sewaktu-waktu. Dan meski hanya berbalut kaus serta celana pendek plus bahasa tubuh yang samasekali gak menunjukkan bahwa keberadaan gue disini diterima dengan tangan terbuka, dia masih terlihat kurang ajar cantiknya di mata gue. Gila ya?
"Aku mau minta maaf" jawab gue berusaha selugas dan setenang mungkin. Padahal dalam hati gue panik dan takut setengah mati. Panik karena gue harus berhadapan lagi dengan dia setelah kejadian yang terjadi diantara kita beberapa waktu yang lalu, dan takut kalau-kalau gue malah diusir sama dia dan dibilang kalau dia gak mau liat gue lagi.
Dia tertawa sinis. "Baru sekarang? Kamu kemana aja selama ini?"
Gue meringis dalam hati. Oke ini memang kesalahan gue. Terakhir kali kita bertemu, kita berantem hebat yang akhirnya berujung pada keputusan sepihak bahwa kita lebih baik break untuk beberapa saat. Kenapa gue bilang sepihak? Karena cuma dia yang meminta tapi gue gak merespon. Gila aja, kalo gue merespon itu artinya gue menyerah melepaskan dia gitu aja, gue gak mau. Dia bisa marah sejadi-jadinya dan se-lama apapun sama gue, gue ikhlas. Tapi ngelepasin dia pergi? Nggak akan.
Ya, lo semua silahkan salahin gue sekarang. Gue tau gue egois.
"Maaf aku emosi waktu itu..."
"Terus?" dia masih menatap gue dengan tatapan dinginnya yang sadis.
"...Kamu tau sendiri gimana aku kalau lagi emosi..."
Dia menghela nafas panjang. "Mau sampe kapan, San? Kamu mau minta aku bertahan sama kamu yang kayak gini sampe kapan? Masa harus aku yang selalu kompromi sama kamu, sementara kamu? Kamu cuma bisa minta maaf dan nyalahin tempramen kamu yang gak pernah membaik itu"
Gue terdiam. Tempramen gue ini memang bagian terburuk dari diri gue yang gak bisa gue lepasin daridulu. Gak sekali dua kali, kata-kata yang keluar dari mulut gue ketika gue emosi menyakiti orang-orang terdekat gue—termasuk dia. Dan dia adalah salahsatu yang paling sabar menghadapi gue dan tempramen buruk gue ini. Setiap kali gue marah dia memutuskan untuk mengalah dan gak melawan balik, dia akan membiarkan gue dingin dulu baru kita bicara lagi. Tapi itu bagai bom waktu, dan kemarin ledakannya. Gue marah. Dia capek mengalah. Jadilah kayak gini akhirnya.
"Sandhi, jawab aku" dia berujar tidak sabar.
Gue mendongak dan menatap dia lurus di matanya untuk yang pertama kalinya malam ini. "Seenggaknya aku berusaha. Aku berusaha berubah demi kamu. Kamu pikir setiap kali aku marah dan ngeluarin kata-kata yang bikin kamu nangis, aku gak ikut sakit? Kamu pikir setiap kali kita habis berantem aku bisa jalanin hari aku dengan tenang?"
Dia menantang tatapan gue. "Kamu selalu bilang kayak gitu, dan aku selalu percaya. But it's been 3 years, San. And you're not changing. At. All." desisnya penuh emosi, tapi bukannya kemarahan yang gue liat di dalam dua manik hitam yang menatap lurus ke mata gue, melainkan rasa sedih. Sedikit kecewa, mungkin.
Hati gue makin perih.
"Aku berusaha... please, kasih aku waktu..."
"Sampe kapan?" tuntutnya.
Gue kembali terdiam. Sampai kapan? Itu pertanyaan yang gak bisa gue jawab dengan pikiran yang kalut seperti ini. Gue pernah ditanya pertanyaan-pertanyaan yang lebih rumit daripada ini ketika gue bidding dan eksplorasi ketua BEM waktu itu dan gue bisa menjawab kesemuanya dengan lancar, tapi kali ini dengan dia yang menatap gue seperti itu dan kondisi pikiran gue yang lagi kayak gini jangankan menjawab untuk memikirkan jawabannya aja gue gak mampu.
"See, kamu bahkan gak bisa jawab. We're done here, San. We're done" tandasnya kemudian bergerak berbalik menuju gedung kosannya.
Dan kala itu, satu-satunya yang bisa gue pikirkan adalah; gue harus tahan dia untuk gak pergi.
And I did.
Gue tarik dia kemudian gue rengkuh dia dalam pelukan gue, se-erat yang gue bisa. Dia memberontak berusaha mendorong gue menjauh tapi dari segi kekuatan jelas dia kalah. Gue mungkin gak bisa jawab pertanyaan dia jadi satu-satunya yang bisa gue lakukan sekarang adalah menunjukkan ke dia bahwa gue gak mau ngebiarin dia pergi. Bahwa gue sayang dia—amat sangat sayang dia untuk ngebiarin dia pergi gitu aja dari hidup gue.
"Sandhi, lepasin aku"
Gue bergeming.
"Sandhi!"
"Gak akan"
Kini gantian dia yang bergeming. Gue tungguin sampe beberapa saat, tapi yang gue dapat bukan respons berupa kata-kata melainkan kaus gue yang tiba-tiba basah dan bahu dia yang bergetar. Hati gue mencelos. Dia nangis. Lagi. Gara-gara gue.
Anjing, bego banget gue bego.
"Bodoh" ia tiba-tiba berbicara disela tangisannya.
"Aku kira aku udah cukup muak sama kamu untuk gak menginginkan kamu lagi tapi ternyata aku salah" dia berbicara lagi. "Aku salah. Dan aku benci ini. Aku benci kamu. Tapi lebih dari segalanya aku benci diri aku sendiri untuk masih sayang sama kamu setelah apa yang kamu lakuin ke aku"
Tenggorokan gue tercekat. Selamat, Sandhi Mulia Ramadhan kamu baru saja memenangkan penghargaan pacar terburuk sedunia.
Pelukan gue melonggar sedikit, perih di hati gue makin berasa mendengar kalimat yang dia ucapkan sambil sesenggukan itu. Kemudian gue merasakan satu tonjokan kecil di dada gue, kemudian satu lagi, dan lagi, dan lagi. Dia memukuli gue sambil terus menangis.
Gue diam. Gue biarkan dia meluapkan emosinya begitu, meski gue harus pulang dalam keadaan babak belur nanti gue ikhlas. Ini tentu gak sebanding dengan apa yang udah gue lakuin ke dia selama ini, gue pantas dia pukulin, dia caci maki, dia tendang-tendang sampe mampus juga gue pantas diperlakukan seperti itu. Dan gue rela, sepenuh hati gue rela.
Saat dia akhirnya berhenti memukuli gue, dia mencengkram kaus gue kemudian menyandarkan kepalanya di dada gue. "Aku mau benci kamu, I really do"
"Then do it" balas gue lembut.
Dia menangis lagi, kali ini gue peluk dia dengan lebih hati-hati. Tangan gue bergerak membelai rambutnya, kemudian gue cium kepalanya dengan lembut—seperti yang gue lakukan dulu sesaat setelah gue nembak dia.
Dia menggeleng pelan kemudian berbisik. "I hate you"
"I know"
Dan bukan maksudku
Menyakitimu
Melukaimu
Sadarkah kau disini ku pun terluka?
Sheila On 7 – Dan...
KAMU SEDANG MEMBACA
Songfic - Enam Hari
Teen FictionKoleksi cerita pendek dari personil Enam Hari band dan lagu. - a day6 fanfiction