#3 Jendela Kelas Satu - Devan (Dowoon)

3.8K 595 30
                                    

Gue inget waktu itu gue kelas 1 SMA.

Gue yang kebanyakan minum es teh pas istirahat makan siang terpaksa harus ijin ke kamar mandi di tengah-tengah pelajaran salahsatu guru paling killer di sekolah. Saking killernya itu guru pas gue angkat tangan buat izin, seisi kelas ngeliatin gue dengan tatapan seolah-olah gue ini terpidana yang dikit lagi akan dihukum pancung. Oke mungkin ini agak hiperbolis, tapi pasti lo ngerti kan maksud gue gimana. Untungnya waktu itu, si guru gak bertanya macam-macam mungkin kasihan juga lihat muka gue yang sangat merefleksikan aura kebelet jadinya gue langsung dapat free pass untuk ke toilet.

Singkat cerita begitu keluar pintu kelas, tanpa basa-basi gue langsung lari ke toilet terdekat dan menuntaskan apa yang harus gue tuntaskan akibat es teh tadi.

Tapi yang mau gue ceritain bukan itu, yang mau gue ceritain adalah serangkaian peristiwa yang terjadi setelah gue menyelesaikan urusan gue di toilet.

Setelah menuntaskan rasa kebelet gue tadi, gue memutuskan untuk santai sejenak dan gak langsung mengambil jalan tercepat menuju kelas. Pikir gue saat itu, mumpung dapat izin dari si guru kapan lagi gue bisa keluar-keluar begini kan. Akhirnya gue memutskan untuk mengambil jalan memutar melewati area kelas 11, murni karena iseng. Yang gue gak tahu waktu itu adalah bahwa keisengan gue akan membawa gue bertemu dengan dia.

Iya, dia. Cinta pertama gue.

Di kelas paling pojok dekat tangga, disitu gue pertama kali melihat dia. Duduk di dekat jendela belakang, tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Sibuk bengong, atau mikir entah gue gak bisa memastikan. Yang bisa gue pastikan adalah, ada sesuatu dari dia yang bikin gue memperlambat langkah gue untuk berlama-lama memperhatikan lekuk wajahnya.

Kalau boleh jujur, banyak senior gue yang jauh lebih cantik dari dia. Jangankan senior, angkatan gue pun banyak yang jauh lebih cantik dari dia. Tapi dia... gimana ya gue bilangnya? Dia menarik. Rambutnya dikuncir kuda dengan helai-helai nakal jatuh membingkai wajah dan lehernya, hidungnya bangir, bibirnya tipis, tapi yang paling gue ingat adalah matanya yang bisa bikin pohon beringin di kebun belakang malu karena kalah adem.

Intinya, gue terpikat. Naksir, kalau kata temen-temen gue. Jatuh cinta... mungkin.

Lalu selama beberapa hari setelahnya gue mendedikasikan hidup gue untuk mencari tahu mengenai sosok senior di balik jendela kelas itu. Berbagai informasi gue dapat dari yang hanya sekedar nama, sampai social media bahkan kontak pribadinya. Tapi apalah gue yang hanya junior waktu itu gak punya nyali untuk menggunakan informasi tersebut untuk kepentingan hati gue yang terlanjur terpikat sama dia ini.

"Ajak kenalan lah, Dev. Kuat lo saban hari cuma diem-diem ngintipin dia dari balik jendela?" begitu kata temen sebangku yang merangkap sebagai sohib kental gue waktu itu.

"Ya gue mah apaan, cuma junior doang. Ntar kalo gue ditatar sama temen-temennya gimana?"

Temen gue itu kemudian menepuk-nepuk bahu gue. "Namanya cinta butuh perjuangan, Dev"

"Gitu ya?" tanya gue sembari terus memperhatikan kelas tempat si dia berada dari beranda kelas gue.

Haruskah gue?

***

Besoknya hujan deras. Gue inget hari itu hari Rabu, sekolah gue diterpa angin kencang dan hujan badai yang bikin hampir setengah murid-murid kejebak di sekolah gak bisa pulang. Setengahnya lagi adalah mereka yang bodoamat kebasahan atau memang hobi basah-basahan. Sayangnya gue termasuk dari setengah murid yang terjebak dan memilih untuk pulang dalam keadaan kering nanti kalau hujan sudah reda. Bukan apa-apa, tapi kalau gue sampe rumah nanti dalam kondisi basah kuyup gue harus menghabiskan sisa hari gue dengan mendengarkan ceramah mama gue tentang pentingnya menjaga kesehatan selama musim pancaroba ini.

Jadi gue menunggu di depan koperasi dengan headset yang memainkan lagu favorit gue saat itu—gue lupa Avenged Sevenfold atau BMTH, antara dua itu—yang jelas gue terlalu larut dalam lagunya sampai-sampai gue gak sadar sedari tadi gue melakukan gerakan-gerakan drumming menirukan tempo lagu yang terputar di headset gue. Di sela-sela pergantian track gue mendengar suara tawa pelan dari sisi sebelah kanan gue, dan saat gue nengok rasanya gue mau langsung lari ke parkiran dan tancap gas pulang saking malunya.

Dia duduk disana, senyum-senyum dan tertawa kecil sembari melirik gue dengan geli. Gue buru-buru lepas headset.

"Eh maaf kak..."

Gue menunduk dalam-dalam, sebuah usaha sia-sia untuk menyembunyikan rasa malu gue. Dari semua orang di sekolah ini kenapa harus dia yang menyaksikan gue berkelakuan seperti tadi ya Tuhan.

Dia tertawa kecil. "Ngapain minta maaf? Kan kamu gak salah"

Gue makin malu, tapi gak bisa ngapa-ngapain juga. Hujan masih jatuh mengguyur sekolah gue dan kayaknya belum ada tanda-tanda berhenti dalam waktu dekat. Apa gue nekat aja nerobos? Tapi kayaknya itu akan membuat gue terlihat semakin bodoh...

"Lagi dengerin lagu apa? Kayaknya seru banget ya?" ia kemudian lanjut bertanya, sebentuk senyum terlengkung di bibirnya. Manis.

"A-anu... itu kak..." gue tergagap kemudian entah kenapa malah mengulurkan headset gue ke dia. "Mau denger juga ga kak?"

Bodoh. Kalau gue ditolak setelah ini gue kayaknya beneran akan lari nerobos hujan aja terus pulang, terus besok izin gak masuk karena sakit kehujanan.

"Boleh" dia menerima uluran headset gue dan memasang satu di telinga kanannya.

Gue terpana untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk memasang headset satunya di telinga kiri gue lalu buru-buru buka music player di HP dan memencet lagu pertama yang gue lihat di daftar putar.


Duduk di pojok bangku deretan belakang

Di dalam kelas penuh dengan obrolan

S'lalu mengacau laju khayalan


Gue diam-diam melirik kearahnya, senyumnya masih terlengkung di wajah sementara matanya menatap jauh kearah lapangan basket yang basah akibat guyuran hujan. Cantik banget ini orang, kacau.


Dari jendela kelas yang tak ada kacanya

Dari sana pula aku mulai mengenal

Seraut wajah berisi lamunan


"Kayaknya ini bukan lagu yang tadi kamu dengerin ya?"

Dia tiba-tiba menoleh. Gue gelagapan, tapi kemudian mengangguk cepat.

"Soalnya aku kira kamu tadi dengerin musik rock yang banyak suara drumnya" ia terkekeh pelan tapi tidak melepas headset di telinganya. "Tapi aku suka lagu ini"

Kali ini gue gak mau repot-repot menyembunyikan senyum yang berkembang di wajah gue dan mengangguk setuju. "Saya juga suka, Kak"


Kau datang membawa sebuah cerita

Darimu itu pasti lagu ini tercipta...

Jendela Kelas Satu – Iwan Fals

Songfic - Enam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang