"Kak, udah ada Gilang loh di depan. Kamu cepetan gih siap-siapnya," ujar papa Diandra lalu keluar dari kamarnya. Diandra mengerutkan keningnya bingung. Rasa-rasanya ia tidak mempunyai janji apapun pada Gilang.
Ia segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan keluar dari kamar. Sebelum menemui Gilang, ia menyempatkan diri pergi ke dapur mengambil bekal makanannya. "Kamu ngapain pagi-pagi kesini?" Tanya Diandra. Gilang menoleh ke arah Diandra lalu tersenyum.
"Mau jemput pacar, lah," jawab Gilang. Diandra mengangkat kedua alisnya sambil manahan tawa. "Siapa? Mbak Nah?" Goda Diandra. Yakali, masa gue jadian ama pembantunya, sih. Batin Gilang.
"Hehe, kalok ngomong suka lucu, deh. Udah, berangkat sekarang, yuk!" Ajak Gilang. Diandra terkekeh lalu memanggil kedua orangtuanya dan pamit.
Selama perjalanan, Diandra tidak bisa diam sama sekali. Ngajak ngobrol Gilanglah, ngajak nyanyi, sampek selfie hingga beberapa kali motor Gilang oleng. Entah itu karena Diandra yang tidak bisa diam atau karena Gilang yang memegang handphone untuk foto disuruh Diandra. Dan berulang kali juga mereka terkena tegur pengendara lain. Tapi, bukannya merasa bersalah dan meminta maaf, mereka berdua malah tertawa. Tampaknya, tak ada yang bisa melunturkan kebahagiaan mereka pagi ini.
Hingga sampai di kelas, mereka masih tertawa. Akhirnya, mereka berpisah duduk di bangku masing-masing. Tapi, tempat duduk Gilang kini ditempati oleh Zsazsa. "Katanya sih cewek," Gilang mengangkat kedua alisnya. Apanya yang cewek?
"Pindahan dari luar negeri juga. Cantik nggak, ya?
"Blasteran, dong? Pasti cantik, lah,""Lo bertiga ngomongin apaan, sih?" Tanya Gilang akhirnya.
"Eh, Zsa, yang punya bangku mau duduk, noh." Ujar Narel.
"Eh, lo mau duduk, Lang? Kenapa nggak bilang daritadi," ujar Zsazsa berdiri lalu Gilang mengangkat satu tangannya tidak masalah.
"Enggak, gue cuman mau naroh tas aja. Lo bertiga tadi ngomongin apaan? Kok ada blasteran-blasteran?" Tanya Gilang.
"Oh, itu. Bakal ada anak baru masuk kelas ini," jawab Naila. Gilang mengangkat satu alisnya bingung. "Kelas ini?" Pastinya.
"Bingung?" Tanya Narel. Gilang mengangguk. "Gue juga. Ya, mungkin sekolah mikirnya kalok pendidikan di luar di ajarin semua kali, makanya dimasukkin ke kelas ini." Entah di seluruh sekolah negeri atau hanya di sekolahnya saja, jika ada anak pindahan pasti akan masuk IPS karena di jurusan IPA ada beberapa mapel tambahan dari sekolah yang belum tentu dikasih di sekolah lain.
Narel kembali ke tempat duduknya, sementara Zsazsa menempati bangku yang Narel tempati tadi. Ia mengambil satu buku dan bulpen merah. Membaca halaman sebelumnya lalu membuka lembaran kosong berikutnya dan siap menulis.
Tapi, tidak. Ia hanya diam menatap halaman kosong di depannya. "Hueee, gue pingin bikin cerita baru." Keluhnya.
"Ya buatlah, Rel. Gitu doang apa susahnya," timpal Diandra.
"Tapi, cerita gue yang ini belum kelar, Ra. Nih, ya, ibarat sebuah hubungan gue pingin punya cowok baru tapi sama gue belum putus sama cowok gue yang lama." Balas Narel. Diandra melihat Narel dengan senyum jahil.
"Lagi baper ya lo? Sumpah demi apa Narel baper, anjir!" Teriak Diandra histeris. Narel menatap Diandra aneh. "Kapan gue baper?" Tanya Narel.
"Iya, buktinya tadi lo ngumpamain hubungan segala. Ciyeee, Narel ciye." Goda Diandra.
"Lah, ngumpamain gitu doang dikata baper." Gumam Narel.
"Eh, guys. Kalian tahu? Narel lagi jatuh cinta, loh. Ciyeee Narel," sorak Diandra. Satu kelas sontak menyoraki Narel. "Lah, sekarang jatuh cinta. Tadi baper, semerdekanya lah." Gumam Narel meneruskan tulisannya.
Suasana kelas tiba-tiba menjadi hening. Gilang merasa aneh dengan perubahan ini, yang ia tahu tidak lebih dari lima menit yang lalu, kelasnya tengha menyoraki Narel. Ia menengadah melihat ke arah pintu kelas dan di sana Bu Niar, wali kelasnya, beserta kepala sekolah masuk ke dalam kelas.
"Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, ini nggak ada yang piket apa gimana kelas ini? Haduh, mbak. Itu di bawah kakimu, coba diambil! " ujar kepala sekolah saat baru masuk ke dalam kelas dan blablabla masih banyak lagi yang ia ucapkan di kelas Gilang dan Diandra. Maklum, kepala sekolahnya adalah ibu-ibu. Jadi, nggak usah heran kalau basa-basinya SEDIKIT panjang.
"Yasudah-yasudah. Sekarang, saya mau memperkenalkan murid baru di kelas kalian. Silahkan masuk!" Seorang gadis masuk ke dalam kelas. Para lelaki di kelas Diandra dan Gilang mulai menggoda gadis itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa gadis itu terlihat cantik. Kulitnya berwarna sawo mentah serta rambutnya yang bergelombang bewarna hitam pekat terlihat lembut.
Semua tampak fine-fine saja dengan kedatangan murid baru itu. Hanya ada satu siswa, duduk kaku dengan jantung berdebar tak karuan serta bayangan masa lalu yang mulai bermunculan di otaknya.
"Halo, semua. Nama gue Alifia Ananta. Kalian bisa manggil gue Alif. Salam kenal,"
Dan akhirnya, kebahagiaan pagi itu luntur.
++++++++
Hae hae kalian
Duh, gue baru bisa update sekarang. Semakin kesini gue semakin banyak tugas nggak sempet ngetik. Gue buka wp paling cuman buat baca2 doang. Itupun mentok 10 bab paling banyak. Coba aja gue masih kelas 10, berapa ceritapun satu hari bisa gue baca, hiks. Maaf ya gue jadi curcol.
Btw, jan lupa vomment yaaaaaa
Salam monyet wakwaw
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On [END]
JugendliteraturMove On adalah satu hal yang sangat mudah diucapkan namun sangat susah dilakukan.