Bab 18

11.6K 415 23
                                    

Berita tentang hubungan Diandra dan Gilang sudah menyebar ke seluruh kelas. Iya, kelas bukan sekolah. Maklum, dua-duanya bukan anak famous atau most wanted di sekolah.

Seluruh teman-teman sekelasnya banyak yang mengucapkan selamat. Tapi, yang namanya hidup. Pasti ada saja yang suka ada juga yang nggak suka.

Tidak seperti kebanyakan pasangan di luar sana, baru jadian pasti mereka lagi anget-angetnya, kemana-mana nempel terus. Kalok ada si cewek pasti ada si cowok.

Berbeda dengan Diandra dan Gilang. Mereka tetap duduk di tempat mereka masing-masing. Serius, kalau kalian melihat sepasang kekasih ini, kalian akan berpikir dua kali untuk mempercayai kabar itu. Pasalnya mereka benar-benar tidak terlihat layaknya orang pacaran.

"Ahaide, yang udah taken, daku mah apa atuh," goda Narel. Diandra melotot ke Narel, tangannya meremas lengan Narel kuat. Narel meringis sambil mengusap lengannya. "Sadis amat lo jadi cewek, yang kalem dikit napa kayak gue." ujar Narel. Diandra tidak menghiraukan omongan Narel dan fokus lagi ke handphonenya.

Diandra: Huuu, nggak suka aku sama anak-anak

Gilang: Kenapa kok nggak suka?

Diandra: Masa dari tadi ngecengin mulu, malu aku tahu

Gilang: Udah biarin aja, ntar juga capek sendiri

Diandra: Iya, nanti. Tapi sekarang aku malu kalo digituin terus.

"Ssssstttt," Diandra mendongakkan kepalanya. Ternyata tadi Gilang yang menyuruh diam anak-anak. Tatapan mereka bertemu, Diandra tersenyum ke arahnya begitu juga dengan Gilang.

Diandra: Makasih

Gilang: Iya, sama-sama

Diandra menaruh handphonenya ke kolong meja. Ia berpindah ke bangku Indra, di sebelah Tika, di depan Maia dan Sella.

Gilang sendiri mengamati Diandra dari tempat duduknya. Melihat Diandra tertawa bersama teman-temannya, cerita-cerita. Entah kenapa, ia merasa sedikit iri dengan mereka karena bisa membuat Diandra tertawa selepas itu, menjadi tempat curhatnya. Gilang menggelengkan kepalanya pelan, yakali gue jealous ama anak-anak? Nggak-nggak.

+++++

Kringgggg.....

Diandra langsung membereskan buku-bukunya, ia sudah lelah dengan semua ini. Ia terlalu pusing jika teru-terusan memikirkan semua ini tanpa ada jalan keluarnya. Kenapa di dalam hidupnya, ia harus menemui masalah yang serumit ini.

Diandra rasanya ingin menangis. Ia tidak habis pikir, kenapa orang-orang pintar jama dahulu harus menciptakan semua ini? Kalau saja dari dulu mereka belajar untuk masa bodoh dengan apa yang telah terjadi, pasti sekarang dia tidak akan mempelajari fisika dan kimia.

Diandra berbalik menghadap Narel, yang dilihat kini tengah menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya. "Rel, lo kenapa?" Tanya Diandra. Narel mengangkat kepalanya sedikit, melirik Diandra sekilas, dan kembali menenggelamkan kepalanya. "Pusing gue, fisika mulu perasaan idup gue," jawab Narel. Diandra mengangguk, menyutuji perkataan Narel.

Ia ikut menenggelamkan kepalnya, tapi kemudian ia mendengar Narel mulai membereskan buku-bukunya. Tak lama juga, ia mendengar dehaman Narel disusul seseorang mengusap puncak kepalanya. Diandra mengangkat kepalanya, bermaksud melihat seseorang itu. "Pulang, yuk," ajak Gilang. Diandra menganggukkan kepalanya. Yah, untuk satu ini mereka sama dengan pasangan lain. Berangkat sekolah bareng, pulang sekolah juga bareng.

"Yaelah, mas, mbak. Pacaran di tempat lain bisa kali, ada orang di sini jangan jadiin obat nyamuk napa," Diandra dan Gilang menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Gilang menggelengkan kepalanya, sementara Diandra mencubit lengan Narel sampai ia mengaduh.

Diandra segera menarik Gilang keluar dari kelas. Mereka segera menuju parkiran dan keluar dari area sekolah. Jujur, Diandra sebenarnya tipe cewek yang nggak bisa berhenti ngomong. Tapi entah kenapa kali ini, ia lebih memilih diam ketika dibonceng Gilang. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia pulang bersama Gilang. Ia malah pernah pulang berdua naik mobil bersama Gilang. Mungkin status yang membedakan semuanya.

Ketika mereka sampai di rumah Diandra, bersamaan dengan itu mama tiri Diandra baru pulang dari kerjanya. Ia tersenyum ketika melihat Diandra dan Gilang baru datang. Membiarkan Diandra dengan privasinya, ia lebih memilih masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. "Mampir dulu?" Tanya Diandra.

"Enggak usah, deh. Aku mau langsung pulang aja," jawab Gilang. Diandra mengangguk, dan Gilang segera pergi dari rumah Diandra. Diandra segera masuk ke dalam rumah ketika Gilang sudah tidak terlihat.

Ia menaruh tas dan mengganti seragamnya lalu menuju ke ruang tengah, dimana di sana ada mama, dan kedua adiknya. "Ciye, kak Diandra dianterin pacarnya," goda Dani. Diandra mengerutkan alisnya serta bibirnya mengerucut berusaha menyembunyikan senyum malunya. Ia duduk di sebelah Dani lalu merangkul Dani. "Kamu tahu apa tentang pacar, ha?"

"Taulah. Pacar itu....., pacar itu apa, ma?" Diandra melotot sambil tersenyum lalu mengacak rambut Dani usil. "Yeah, makannya jangan sotoy." Ujar Diandra.

"Itu tadi pacar kamu, kak?" Tanya mama Diandra. Diandra mengangguk. "Pacaran itu nggak papa, kok. Asal pacarannya yang sehat, jangan kayak anak jaman sekarang. Pacaran langsung mepet-mepet. Yang cewek dipegang-pegan mau, ujung-ujungnya hamil di luar nikah. Jangan sampek kayak gitu. Terus kamu juga harus bisa bagi waktu, mana waktunya buat belajar sama sekolah, mana waktunya sama keluarga, dan baru mana waktunya kamu bisa keluar sama pacarmu." Tutur mamanya.

Lagi-lagi Diandra menganggukkan kepalanya. Ia bersyukur memiliki mama tiri yang sangat perhatian dengannya. Ia akan selalu mengingat-ingat ucapan mamanya tadi.

++++++++

Halo, bab 18 update

Jujur gue stuck banget waktu nyampek pikiran Gilang tentang Diandra sama teman-temannya. Gue bingung itu mau diapain.

Oh ya, kalok orangnya mau sih tapi ini ya...

Gue bakal kasih tau, inspirasi cerita ini itu asal muasalnya dari mana, kenapa gue buat cerita kayak gini. Tapi, diakhir cerita.

TAPI kalok orang yang bersangkutan mau. Kalo nggak mau ya... Yaudah hehe

Jangan lupa vommentnya yaaaaa

Move On [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang