Tembakan 1#

10 1 0
                                    

Sosok anak lelaki menatap teman temannya yang berlari mengejar layangan di usia belia mereka. Tetapi, anak itu terdiam. Bukannya tak tertarik, tetapi fisiknya memenjarakan sang anak lelaki. Anak itu menunduk.

"Besok Llyn masuk sekolah," ucapnya entah pada siapa. Senyuman manis terpampang, entah pada sosok yang mana.

Esoknya, Llyn duduk manis di dekat jendela. Ceruleannya menghayati hamparan lapangan hijau sekolah, menatap seekor ayam betina yang tengah mencari makan. Mendadak, seseorang menepuk pundaknya. Llynpun menoleh seketika.

"Boleh aku duduk di sampingmu," tanya gadis itu dengan ceria. Llyn mengangguk disertai senyuman mantapnya.

"Namamu siapa?"

Llyn terdiam. Namanya. Itu mengingatkan akan sesuatu yang buruk saat ia masih TK.

"Err...... Anabella Gerllyn," jawabnya ragu-ragu.

Ia begitu percaya gadis itu akan tertawa mendengar namanya yang feminin. Tetapi, gadis itu justru mengulurkan tangan.

"Aku Gravano Amyria. Salam kenal," kenalnya.

Llyn menjabat tangan Amy dengan senang hati.

"Salam kenal, Vano."

"Kamu cantik sekali, Ana."

"Kamu juga sangat tampan, Vano," lalu keduanya tertawa.

Tiba-tiba, Amy menggamit tangan Llyn.

"Jajan yuk, Ana," sahutnya riang. Awalnya Llyn bingung, tetapi ia tetap tersenyum ceria dengan sedikit rona menghias.

Selang beberapa waktu kemudian, setelah perkenalan yang membosankan, 1A pulang bersama kelas 1 yang lain. Amy berlari seraya menarik tangan Llyn.

"Kita mau ke mana," tanya anak lelaki itu, kebingungan.

"Kita akan ke sebuah padang yang saaaangat luas!!!!!!!!!!!"

Llyn tersenyum kecil, berpegangan pada pundak Amy yang memboncenginya. Selang beberapa menit kemudian, Amy melompat turun.

"Luas, kan," tanyanya seraya berputar-putar dan berakhir terjatuh di atas hamparan rumput dan ilalang.

"Akan sangat luas kalau sungai tak memotongnya."

"Besok sore berenang yuk!!!! Ajak yang lain juga!!!!!!! Kita cari ikan," teriak gadis itu, bersemangat.

"Berenang, dong?"

"Iya, lah! Masa terbang? Tadi kan aku bilang berenang," canda Amy diselingi tawa riang. Saat itu pula, Llyn tertunduk sedih.

"Aku tidak bisa. Maaf, Amy."

Amy menghentikan tawanya. Ia menatap Llyn yang berdiri di sampingnya seraya menunduk. Amy berdiri dan menangkup wajah Llyn.

"Memangnya kenapa? Apa ibumu takut dirimu disengat lintah atau digigit lebah?"

"Yang benar itu digigit lintah atau disengat lebah," jawab Llyn membenarkan, "dan lagipula, bukan karena itu," lanjutnya kemudian.

"Lalu?"

"Fisikku terlalu lemah. Cita-citaku saja mustahil tercapai," curah Llyn pada sahabat barunya.

Amy mengelus dagu seraya mengangguk-angguk seperti pajangan di dasboard mobil. Ia membuka matanya yang terpejam dan menarik Llyn ke pelukannya.

"Tenang saja, Llyn. Bukan cuma kamu. Aku mau jadi dokter, tetapi aku fobia akan suntikan," hibur Amy dengan cerianya. "Tidak ada yang mustahil. Kita bisa, asal kita berusaha. Sekarang, Vano minta Ana berjanji," lanjut gadis belia itu.

We Can't Break The Wall, Can We? [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang