P U L A N G 4 (Cerpen)

59 5 2
                                    

Semarak Gegap gempita mengiringi arak-arakan begitu riuh melintasi jalanan kota. Orang yang berlalu lalang berhenti sejenak untuk memperhatikan segerombolan arak-arakan itu. Tak hanya mereka, banyak juga orang-orang yang sengaja datang kesana untuk sekedar menyaksikan rombongan para pengiring penganten calon istri pembesar jawa. Dimasa itu hanya orang-orang tertentu yang mampu mengadakan pesta kawin selayak itu. Sementara 4 pemuda kurus yang nampak sedikit gerah mengenakan baju hitam yang terlihat berat dibadanya karena mereka lebih terbiasa pake kutang dan sarung tipis sehari-hari. Ke empat pemuda itu Bekerja sama menggotong calon penganten di atas tandu yang sudah di hias sedemikian cantiknya, kembang tersusun dimana-mana. Para penari tionghua berjingkrak kesana kemari dalam kostum naga-nagaanya, orang bilang barongsai namanya, kostumnya aduhai cantik berhias kerlap kerlip, badanya yang panjang muat 6 orang untuk masuk kedalam sana. Di belakangnya orang-orang tinggi berjalan di atas sandal kayu memayungi sang panganten menuju rumah pembesar yang sudah meminangnya. Di belakangnya lagi emak bapak sanak saudara dan para sahaya ikut berjalan pelan mengikuti rombongan di depanya. Rebana bertalu-talu sang pemukul gendang nampak sumringah menyanyikan setiap lirik dengan indahnya. Terlihat betul ia sudah terbiasa mengiringi iring-iringan seperti itu, belum genap usianya 20tahun tapi sudah keliling jawa mengantar putri-putri ke istana bendoronya.

Anak kecil yang tampak riang ikut menari nari, ketika rombongan melintas di depanya dipandangnya oleh anak itu sang calon penganten, ah betapa cantik pikirnya. Kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam mengkilap, matanya sayu menyuguhkan keteduhan, hidungnya bangir lancip ke depan. Tiba-tiba Teringat bocah itu akan boneka-bonekanya dirumah. Betapa ia berharap dapat menjadi wanita berwibawa seperti itu suatu hari nanti.

Tapi siapa berani sangka sang pengantenya sendiri justru tampak resah. Hiruk pikuk di sekelilingnya  membuatnya amat gusar. Ia Takuti nasib yang akan di temuinya nanti. Apalah daya di jaman itu wanita tak boleh angkat bicara, kita perempuan milik lakinya, harus patuh dan tunduk melayani segala macam perintah suami. ucap emak sehari sebelum pernikahanya hari ini. Meski tak pandai berbicara gadis itu tau benar apa yang ingin di sampaikanya, sayang beribu sayang mulut bukanlah kepunyaanya melainkan kepunyaan sang tuanya yaitu calon suaminya sendiri. Di bawah tudung ia mencoba sekuat tenaga menahan derai air mata. Sang gadis itu berharap hari ini takan pernah datang dalam hidupanya.

Lain lagi ceritnya si kakek nelayan dari kampung yang kebetulan ke kota hendak menjual ikan hasil tangkapanya ke pasar. Di lihatnya arak-arakan itu seraya berkata pada dirinya sendiri "hidup senang hanya milik orang kota. Kita orang kampung kerja keras lawan laut. Kalu mau hura-hura matilah 7 turunan kami nanti kelaparan tak dapat makan"

Begitulah terus para rombongan arak-arakan tak berhenti barang sedetik. Di susurinya jalanan kota itu menuju rumah sang punya empu dari si calon penganten. Tak lama berlaku setelah arak-arakan berlalu orang-orang membubarkan diri kembali kepada kehidupanya sendiri-sendiri. Jalanan yang tadi nampak begitu sempit dan ramai kini nampak lenggang dan sunyi. Hanya ada dokar sesekali lewat ke arah selatan atau sebaliknya. Selebihnya hari sudah lewat petang dan semua kembali kerumahnya masing-masing.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang