Wulandari (Cerpen)

105 3 0
                                    

Rembulan yang bersinar terang dimalam hari menyentuh lembut kepada bola mata siapa saja yang memandangnya. Semilir Angin yang datang mengiringi malam panjang menemani rembulan menggantung di langit. Beberapa bintang juga nampak kecil berkerlip-kerlip nakal menggoda wahyuni yang menengok ke arah langit hitam pada jendela kamarnya yang gelap tak berlampu, mungkin memang ia sengaja tak ingin bersaing dengan cahaya rembulan yang cerah di malam hari ini.

Wahyuni menghela nafas cukup panjang, pertanda betapa ia merasa letih malam ini. Entah apa yang mengganggu fikiranya wahyuni hanya memandang sunyi rembulan dengan matanya yang sangat bening hampir-hampir terlihat mengalirkan air di pelupuk matanya.

Ternyata wahyuni membisikan sesuatu kepada rembulan diangkasa. Tak ada yang bisa mendnegarnya, tidak untuk burung gereja yang berlalu lalang di muka, tidak untuk angin sepoi yang berhembus mondar mandir di depan rumah, tidak juga kepada bocah kecil yang berjingkrak riang di bawah jalan hendak pulang kerumahnya. Tetapi sang rembulan mendnegarnya, dengan signal yang di pancarkan oleh wahyuni melalui suara hatinya, yang kemudian di baca dalam kode-kode rumit oleh rembulan melalu kedua pasang bola mata wahyuni.

Untung saja malam ini hujan tak mampir ke bumi. Jika saja hujan datang mungkin wahyuni hanya akan meringkuk di bawah selimutnya dan bersenandung kecil bersama rintikan hujan, tapi ia hanya akan merasa amat kesiapan karena tak ada yang menyampaikan rindunya.

Gorden putih yang nampak lemah bergoyang terkena terpaan angin menjadi saksi bisu percakapan wahyuni dan rembulan. Meskipun tak ada yang dapat di mengerti dari ratapanya, namun gorden putih itu tetap bergoyang menunjukan kehadiranya. Begitupun dengan pohon beringin di depan pagar rumah yang akarnya kuat membumi, berdiri kokoh dan menatap wahyuni juga sang rembulan dalam sunyi. Sesekali ia bergemerisik ketika dahanya saling bergesek. Tapi baik hujan, gorden maupun pohon tak berniat mengganggu pertemuan wahyuni dan rembulan malam ini.

Detik yang mencoba ikut membisu tak kuasa menahanya meski untuk sedetikpun. Ia terus saja berdetak sendiri, meskipun wahyuni dan rembulan sedang berbicara serius dengan kode-kode yang tak siapa pun dapat mengerti .hanya saja detik tetap tak boleh berhenti, ia harus terus berputar dan pergi dari waktu yang berlalu untuk terus melanjutkan kehidupanya. Kadang juga detik sesekali membisikan peringatan kepada wahyuni bahwa esok masih ada mentari yang menantinya. Cukup lama untuk Wahyuni mengerti maksud dari sang detik, lalu ia mengucapakan pamit dalam senyumnya kepada rembulan dan menutup jendela yang sejak tadi tak bergeming terhadap apapun.

Kini Wahyuni kembali keperaduanya dan terlelap berharap menyambut matahari yang ramah besok, dan begitupun dengan rembulan yang tetap menggantung di langit memperhatikan wahyuni dari kejauhan, kini sang rembulan mengemban beban baru yaitu rindu yang ia terima dari wahyuni, lalu ia kembali menuggu dalam bisunya kepada malam. menanti keresahan yang di bawa sang pemilik cahaya sejati yaitu matahari bersama meganya yang akan siap memeluk manusia termasuk wahyuni dalam dekapan kehidupan.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang