Avel POV
Kenalin, gue Avel. Agya Ravello Hilman lengkapnya. Ah sebenarnya gue gak suka sama nama depan dan belakang gue. Jadi, cukup kenal gue sebagai Avel. Gak lebih.
Kapanpun, dimanapun, diantara siapapun, intinya gue yang paling ganteng, yang paling hot, yang paling kece badai kata si Princess Syahrini, dan gue yang paling paling paling. Oke, berlebihan.
Ini hari pertama gue dikelas 11, saatnya ngecengin dede unyu dan kenalkan senioritas.
Selesai upacara, tanpa basa basi gue langsung caw ke kantin untuk melegakan dahaga dan sekalian colek-colek dikit bareng Geng Predator gue yang terkenal disekolah ini."Mau ngapain kalian disini? Masuk kelas!" yah ketangkep basah deh sama si tua bangka, Pak Mulyono.
Bukannya gue takut, justru gue ini ditakuti sama semua orang. Cuma lagi gak mau bikin masalah aja, kasian Pak Mulyono udah tua. Gak boleh melawan orang yang sudah tua, ketulah baru tau rasa.
Gue masuk kelas aja deh. Seinget gue sih, gue sekelas lagi sama si Aric kampret."Calm bro, udah biasa telat masuk kelas, jangan takut, hadapi dengan senyum manis," ucap gue pada diri sendiri saat melihat pintu kelas sudah tertutup rapat.
Menegakkan kerah baju, merapihkan sedikit kemeja putih, gesper dan celana panjang abu-abu. Lalu berjalan tegak, masuk kedalam kelas mendahului dengan mengetuk pintu 2 kali. 'Tok.. Tok'
Satu tujuan gue, Aric.
Dapat!
Berjalan dengan gaya 'cool' yang biasa gue lakukan. Tatapan gue teralihkan dengan seorang perempuan berambut pendek hitam pekat dengan sedikit poni, ia duduk tepat dibelakang kursi yang gue yakini bakal jadi tempat duduk gue.
Bruuugh
Shit! Gue jatoh! Iya ini gue yang jatoh! Avel yang paling ganteng seantero dunia ini jatoh? What? Engga! Gak mungkin! Tapi, iya ini gue jatoh. Tali sepatu sialan.
Seketika gue dengar suara tawa dari seisi kelas ini.Oke. Cukup! Pertama dan terakhir kalinya gue mempermalukan diri gue didepan semua orang.
Gue bangkit dengan sedikit meraba meja. Lalu bangkit seutuhnya. Kembali pada gaya awal gue. Cool.
Gue rasa, gue beneran ketulah nih gara-gara tadi ngatain Pak Mulyono.Duduk dengan tenang, santai, seperti tidak terjadi apapun.
"Eh Fin, udah udah. Nanti dada kamu sakit kalo terus menerus tertawa," merdunya suara khas perempuan dari belakang gue. Tak peduli si Aric berkata apa. Gue cuma denger suara perempuan dibelakang gue.
Menengok ke belakang dengan niat untuk melihat nama panggilan ditanda pengenal yang terpasang di kemeja dada kanan. Avina.
Teralihkan dari namanya, gue lihat wajah Fina yang sudah gue kenal lama memerah sejadi-jadinya sambil terus tertawa dan menunjuk ke arahku. Sepertinya, dia masih mentertawakan kejadian gue yang jatoh didepan kelas tadi.
Fina manggil gue apa tadi? Kumis? Yaa memang itu panggilan khusus buat gue. Sesuai, gue emang kumisan dan gak tipis kaya anak muda biasanya, tapi juga gak setebal para ulama, yang biasa-biasa ajaa.
Lanjut liatin Fina. Tapi ini lebih lucu, benar apa yang dikatakan Aric "muka lu....kaya pantat monyet Fin hahaha," setelah itu seisi kelas mulai kembali tertawa karena ucapan Aric termasuk gue dan...Avina.
Kemudian datanglah wali kelas dengan arahannya untuk semangat belajar.
***
Jam istirahat telah usai.
Disela-sela pembicaraan gue dengan Aric. Fina memanggil nama gue dengan teriakan khasnya. Gue rasa, Fina masih keturunan orang utan yang hobinya teriak-teriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Ours"
Teen FictionJangan pernah katakan "tidak" jika memang jawabannya "ya" atau kau katakan "ya" padahal jawabannya "tidak". Suatu hari kamu harus belajar menerima, suatu hari juga kamu harus belajar untuk menolak. Hidup tak semudah kau bayangkan. Atau bahkan kau p...