Bel istirahat baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu. Siva yang baru saja keluar dari kelasnya selepas ulangan harian dilakukan, langsung memindai cepat keadaan kantin mencari sahabatnya. Tasha melambaikan tangan. Perempuan itu menempati meja paling kanan, sendirian. Sengaja meletakkan buku bukunya dengan berserakan agar tidak ditempati orang.
Siva berjalan cepat. Gadis itu langsung duduk dengan wajah ditekuk. Membuat Tasha menatapnya heran. "Kenapa sih? Hanif marah gara gara lo gak peka ya?"
Siva tak menghiraukannya. Otaknya yang lemot sepertinya blank ditanyai seperti itu. "Gagal ulangan" lirih gadis itu, lemas. "Mana si Fanya? Belum dateng ya?"
Tasha mengangguk. "Biasa, jaga UKS" sahutnya merapikan buku, meletakkannya dengan rapi menumpuk ke atas. "Mbak, Tasha pesen jus mangganya satu ya?" teriaknya sambil lalu pada salah satu pelayan.
"Lama nunggunya ya? Siva sampe lemes begitu" Fanya terkikik geli. Dia dengan cepat duduk disamping Tasha tanpa rasa bersalah. "Udah pada mesen belum? Gue pesen duluan ya"
"Enak banget hidup lo, Anjing!" pekik Tasha melempar tisu. "Kita nunggu lama, lo seenak jidat mesen duluan! Minuman gue aja belum dateng!"
"Iya deh maap" sahut Fanya masih sambil terkikik. "Maapin yak"
"Oke" Siva menyahut ceria. "Tapi bayarin bubur ayam ya.. laper soalnya" lanjutnya polos. Cewek itu kemudian bangkit tanpa menunggu persetujuan dan memesan bubur ayamnya menganggap Fanya akan membayarnya.
Tasha ngakak. Dia tertawa sambil menyemprotkan sebagian jusnya yang hampir tertelan. "Mampus! Gak jajan lo besok!" ejeknya dibalas wajah Fanya yang tertekuk maksimal.
***
Lelaki itu melangkah mendekat. Membuat seluruh kantin menatapnya penasaran. Salah satu most wanted sekolah yang digandrungi banyak wanita tentu saja selalu mengundang perhatian. Terutama saat langkahnya perlahan mendekati meja paling kanan yang ditempati tiga orang gadis yang saat ini sedang tertawa cekikikan.
Fanya tiba tiba termenung. Dia mencolek colek bahu Tasha yang masih sibuk tertawa. Siva kebingungan. Tapi kemudian ikut mencolek bahunya. "Apaan sih!" pekiknya lalu ikut terdiam.
Sosok Fauzan yang berdiri dihadapannya, membungkamnya. Cowok yang selama ini dengan gencar memberikan perhatian lebih itu tampak sangat mengerikan dengan pakaian karatenya. Tubuh atletisnya berpeluh. Tetapi rambutnya yang basah oleh keringat tidak lantas memudarkan pesonanya.
Cowok pendiam itu menatap datar. Berdehem canggung dan menyodorkan buku yang sedari tadi berada dalam genggamannya. "Ajarin aku fisika" ucapnya pendek. Tasha mengangguk mengerti. Menggeser duduknya dan membiarkan Fauzan duduk di sebelahnya.
"Gak ganti baju dulu?" gelengan Fauzan membuat Tasha memekik tak tahu diri, "Mungkin itu alasannya mereka ngeliatin kamu! karna kamu bau asem‼"
Fanya tepuk jidat. Siva tertawa terbahak bahak membuat satu tendangan di kaki diterimanya. Fauzan sendiri tersenyum tipis. Orang yang selama ini irit bicara itu mencubit pelan pipinya dengan lembut. Menghipnotis seluruh mata yang sibuk memandang keduanya.
Tasha emang gak punya filter!
Perlahan, lelaki itu mengubah arah pandangannya dan berkata tanpa nada, "Kamu dipanggil Pak Ari" ujarnya pada Fanya.
Fanya mengangguk cepat. Cewek itu cepat cepat bangkit dari duduknya dan menemui pemegang extrakurikuler PMR.
***
"Tolong kamu obati dia ya" Pak Ari melirik laki laki yang terbaring di ranjang UKS itu lewat sudut matanya. Membuat Fanya mau tak mau ikut meliriknya. Kemudian mengangguk mengerti setelah berpikir kalau ini adalah kewajibannya juga.
"Bagus. Saya pergi dulu"
Setelah pintu UKS tertutup, Fanya menelan ludah. Otaknya dengan cepat memproses apa yang sedang di hadapinya saat ini. Lelaki itu menatapnya tajam. Seolah memang terpatri pada dirinya. Kalau lelaki ini berani berbuat macam macam padanya, dia akan dengan cepat pula menekan pergelangan kakinya yang membiru itu atau lututnya yang berdarah sekalian.
"Ngapain lo liat liat gue?" Fanya bertolak pinggang. Tidak ada cara lain lagi. Dia harus pura pura galak untuk tindakan pencegahan agar lelaki ini tidak berbuat semena mena terhadapnya diruangan tertutup seperti ini.
"Kamu cantik"
Fanya membulatkan mata. Lelaki ini jelas adalah hidung belang. Wajahnya tidak seperti sedang bercanda saat ini. Dan Fanya segera mengambil kesimpulan kalau mungkin ini memang karna dia sudah terbiasa mengatakannya.
Fanya memijit pelipisnya. Dia tidak pernah menghadapi orang semacam ini sebelumnya. Dan itu karna biasanya dia hanya mengobati perempuan. Memilih tidak ambil pusing, Fanya melangkah mendekat. Mengamati luka itu dengan seksama sebelum mengobatinya.
"R.E.Y.N.O"
"Hah?"
"Nama aku Reyno" ujarnya tersenyum kecil. "Harusnya kamu langsung tau setelah melihat nama yang ada dipunggungku"
Fanya tidak menanggapi. Dan Reyno berdehem canggung, berucap malu malu, "Boleh minta nomer ponsel kamu?"
Astaga! Ini terlalu tiba tiba.
***
Siva menerima jus alpukat yang diberikan Hanif dengan senyuman lebar. "Tengkyu" bisiknya membuat Hanif mengangguk cepat. "Ngapain lo masih disini?" tanyanya kemudian menatap Hanif heran.
"Hush! Ngomong sembarangan aja lo!" Tasha menggeplak kepala Siva kasar. "Duduk aja dulu Nif, jangan dibawa hati omongannya Siva. Dia emang rada pe'a orangnya" lanjutnya mencubit kecil lengan Siva, hingga si empunya memekik.
"Sakit tau!" sungut Siva sebal. Hanif tersenyum melihat tingkahnya. Tanpa sadar menatap Siva lama. Siva yang menyadarinya kontan saja menoleh. "Gue belepotan ya minumnya?" tanyanya sembari mengusap sekitar bibirnya.
Hanif tertawa kecil. Setelah mengangguk mengiyakan, cowok itu kemudian ikut mengusap sudut bibir Siva. Dalam hati tertawa berhasil mengelabui perempuan sepolos Siva. "Udah. Ayo aku anter ke kelas"
***
Tbc+
Based on true story.
-monokrom-