Part 8

72 10 2
                                    

"Masih marah?" Hanif tersenyum geli melihat Siva yang pura pura menyibukkan diri agar tidak perlu berkomunikasi langsung dengan Hanif. Hanif terkekeh, dia bergeser mendekat ke arah Siva yang duduk di sebelahnya. "Kamu masih marah kan? Keliatan kok" ujarnya kemudian mengangguk angguk.

"Geser kali Nif! Sempit tau" Siva menggerutu. Dia membuang pandangannya dengan sebal ke luar jendela menolak menatap Hanif yang dirasakannya masih menunduk bersikeras ingin melihat wajahnya yang tertekuk masam.

"Akhirnya kamu mau bicara sama aku" Hanif memilih menggeser tempat duduknya sambil menghela nafas. "Beresin barang bawaan kamu. Jangan sampai ada yang tertinggal, kita sebentar lagi sampai di penginapan" ujarnya memberitahu. Dia mengusap puncak kepala Siva dengan sayang sebelum kemudian kembali menghadap ke depan.

Siva sendiri memilih diam. Dia masih merasa aneh dengan dirinya sendiri. Selepas kejadian tadi, dia yakin sekali ada yang salah dengan jantungnya. Entah kenapa, Hanif tidak lagi terlihat sama. Cowok itu seolah selalu memompa darah di tubuh Siva menuju jantungnya yang membuatnya berdetak duakali lebih cepat dari biasanya. Padahal hanya dengan sentuhan kulit mereka saja yang kalau dipikir pikir sudah sering terjadi.

"Kok kamu melamun? Mau muntah?" melihat Siva menggeleng, Hanif berkata, "Ayo turun, kita udah sampe di penginapan"

Siva mendongak. Dia refleks berdiri dan kemudian limbung sesaat berikutnya, "Monyong!!" jeritnya tanpa bisa ditahan.

Hanif tertawa. Sambil menahan tubuh Siva yang nyaris membentur lantai bus, cowok itu berkata, "Cie yang latah" ledeknya membuat pipi Siva memerah malu. "Lain kali kalau jalan hati hati, Siva" nasehatnya dengan lembut.

Tuhkan jantungnya mulai lagi.
Fix! Kalau Siva ini sudah gila.

***

"Fanya!!" jeritan di belakangnya membuat Fanya menoleh. Dia tersenyum ketika melihat sosok teman sekelasnya tengah menghampirinya. "Jangan lupa kalo besok kita kerja kelompok ya"

"Okey" Fanya mengangkat tangannya membentuk isyarat OK. "Lagi apa kamu disini? Kok gak pulang?"

"Hah? Ini lagi nyariin abang aku. Soalnya kata mama abang harus pulang sama aku hari ini. Kamu sendiri gimana? Kok gak pulang?"

"Sebenarnya saat ini aku sedang otw pulang, Riri" Fanya terkekeh. Dia melanjutkan, "Kalo gitu, aku duluan ya? Dadah"

"Heem, kamu hati hati dijalan ya. Kalo ntar ketemu abang aku, tolong bilangin aku tunggu di parkiran. Lebih dari 10 menit, aku tinggal. Gitu" Riri tersenyum manis. Membuat Fanya teringat seseorang. Reyno. Tapi itu jelas tidak mungkin kan? Jelas ada yang rusak dalam otaknya.

Ditanya seperti itu, Fanya memilih mengangguk saja. Abangnya Riri saja Fanya gak pernah lihat. Gimana mau menyampaikannya? Daripada berlama lama disini, lebih baik dia mengangguk saja. Lagipula bukan hanya ibunya Riri yang menunggu di rumah, tetapi ibunya juga. Fanya mengangkat bahu melihat punggung Riri yang lambat laun mengecil. Dia kemudian melanjutkan perjalanan pulangnya tanpa merasa perlu memikirkannya lebih lanjut.

'BRUKK'

Fanya menjerit. Dia menutup matanya sambil berjongkok melihat bayangan monyet yang baru saja turun dari pohon mangga yang baru saja akan dilewatinya. Monyet milik siapa sih yang lepas?

"Oyy, kok tutup mata sih?" disaat genting seperti ini, Fanya mendengar suara lelaki yang belakangan ini sering mengganggunya. Fanya menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran tentang cowok menyebalkan itu. Halusinasi, begitu pikirnya. "Silau karna ketampanan gua ya?" lanjutnya dengan nada percaya diri yang khas.

Fanya mungkin beneran berhalusinasi. Sudah duakali dia mendengar suara cowok begajulan itu. Merasa tangannya ditarik, Fanya menjerit lagi. Dia langsung menendang tulang kering lelaki itu plus juga dengan alat kelaminnya. "Pergi sana! Dasar siluman monyet!" jerit Fanya masih sambil menutup matanya ketakutan.

Gak ada yang bisa memastikan kalau siluman monyet ini gak akan menggigitnya kan?

"Wadaw" Reyno menjerit keras keras. Perempuan ini menendang tepat sasaran meskipun dengan mata tertutup. "Buka kali mata lo. Masa cogan begini dikata siluman monyet" gerutu Reyno sambil memegangi 'itu'nya.

Mendengarnya, Fanya langsung membuka matanya dengan kaget. "Ya ampun ternyata elo. Gue kira tadi monyet lepas" syukurnya.

"Bagian mana yang mirip monyet hah?"

"Mangkanya jangan berayun diatas pohon! Sini gue obatin. Tapi dibagian tulang keringnya aja ya" Fanya menggaruk tengkuknya dengan canggung. Salahnya juga yang sembarangan nendang. Ini semua karna dia mendengar Fauzan yang mengajari Tasha bela diri.

"Cie maluuuu" ledek Reyno membuat Fanya menepuk punggungnya keras keras. "Sakit dong cantik. Habis ini aku anterin pulang ya?"

Ini cowok emang gak ada kapoknya!

***

Fauzan Setiawan : "Udah sampai dengan selamat? Kapan pulang? Mss y"

Tasha tersenyum manis. Dia menatap layar ponselnya dengan hati berbunga bunga. Fauzan ternyata masih menyimpan rasa peduli kepada dirinya dibalik sikap cueknya. Dan Tasha sangat menyukai itu. Fauzan berbeda dari mantannya yang lain. Cowok itu memiliki gengsi yang tinggi tetapi menunjukkan kasih sayang dengan cara yang sangat manis. Membuat Tasha jatuh berkali kali pada pesonanya. Beberapa menit setelah benar benar sampai di penginapan, Tasha memutuskan untuk langsung membalas,

Natasha Auryta :"Tata baru sampai di penginapan, Bang. Masa udah nanya pulang sih?"

Fauzan Setiawan :"Itu karna aku gak ada teman buat diajak pulang bareng"

Natasha Auryta :"Biasanya juga gak pulang sama Tata, kan?"

Fauzan Setiawan : "Maksud aku, gak ada yang bawain bekal pas latian. Aku pengen makan masakan kamu"

Natasha Auryta : "Tata kan gak bisa masak, Bang."

Fauzan Setiawan : "Maksud aku, disini ada mantan aku yang suka gangguin aku. Aku butuh kamu buat ngusir dia."

Natasha Auryta : "Bang Ojan kan gak punya mantan-,- maksud Bang Ojan itu sebenernya apa, Tata bingung?"

Tasha tertawa ngakak. Di dalam dunia ini, menggoda Fauzan adalah hal paling faforitnya. Kegengsian lelaki itu seolah selalu menjadi senjata untuk Tasha ketika ingin menggodanya. Tasha...Mencintai lelaki itu.

Fauzan calling...

Jantung Tasha berdegup kencang. Dia menetralkan napasnya dan mengecek suaranya. Kemudian menghitung sampai tiga agar tidak terlalu mencolok. Sebelum menggeser tombol hijau, tiba tiba panggilan dari Fauzan terhenti. "Kok cepet sih? Ini si Ojan serius gak sih ama gue!" gerutu Tasha kemudian memencet mendial nomor milik Fauzan di luar kepala.

Beruntung tidak membutuhkan waktu lama bagi Fauzan untuk mengangkatnya. Sementara Tasha yang disibukkan dengan rasa kesalnya, langsung nyerocos begitu saja mendengar bunyi pertanda bahwa panggilannya dijawab Fauzan secepat kilat.

"Bang Ojan kok cepet banget sih matiinnya? Bang Ojan gak serius ya sama Tata? Udah gak sayang lagi? Jadi bang Ojan selama ini punya cewek incaran baru? Pokoknya Tata benci sama Bang Ojan! Tata tadi nolak si Sammy karna inget sama Bang Ojan tauuuuu!" Tasha meluapkan emosinya begitu saja. Fauzan ini benar benar gak bisa di harapkan. Tadi so sweet, sekarang nyebelin. Tapi Tasha tetep aja suka...

Dan... o-okey.. sebenarnya soal Sammy itu Tasha berbohong. Dia hanya sempat bertemu di rumah makan dan berbincang basa basi. Sammy sama sekali gak minta balikan. Cuman mulutnya Tasha aja yang kelepasan ngomong karna saking gemasnya dengan Fauzan.

Fauzan terdiam beberapa lama membuat Tasha akhirnya ingin menekan tombol berwarna merah saja. Tapi sebelum itu terjadi, Fauzan akhirnya membuka mulut, "Aku kangen sama kamu, Ta"

WHATTT???!!!

Ini benar Fauzannya?

"Btw Ta, Sammy itu siapa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Problem of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang