Part 6

78 9 0
                                    


Hari keberangkatan mereka pun tiba. Siva, Tasha, Hanif serta beberapa orang lainnya yang kebetulan ditunjuk sebagai perwakilan sekolah mereka kini tengah berdiri di depan pintu gerbang menunggu bus yang menjemput mereka datang. Fanya sendiri karena hanya dirinya sendiri yang tidak dipilih diantara kedua temannya, hanya bisa ikut mengantarkan mereka sampai ke depan pintu gerbang saja.

"Kenapa wajah lo bentuknya begitu" Tasha mengerutkan dahi. Sambil menatap jijik ke arah Fanya yang menekuk muka, dia menepuk nepuk pundak sahabatnya menyemangati. "Gue bawain oleh oleh deh"

Fanya malah semakin menekuk mukanya. Tapi tak urung malah memeluk sahabatnya juga dengan hangat. "Lo gak pernah serius ngomong begitu" gerutunya pura-pura kesal.

Siva sendiri sudah siap dengan tangan terentang lebar. Menyambut Fanya ke dalam pelukannya beberapa saat setelah pelukannya dengan Tasha selesai. "Gue pasti bakalan kangen banget sama lo" ujarnya sedih.

Ucapan sahabatnya yang satu itu, justru membuatnya semakin sedih. Fanya belum pernah dihadapkan pada saat saat seperti ini sebelumnya. Dia belum pernah masuk sekolah tanpa kedua sahabatnya. Dan selama yang dia tau, sahabatnya selalu menyempatkan diri menjadi orang yang paling gila-gilaan dan tidak tahu malu.

Jadi ketika sahabatnya ini menunjukkan rasa sedihnya secara terang terangan, tidak ada yang bisa dilakukannya selain meneteskan air matanya seperti saat ini. "Gue juga bakalan kangen sama lo" bisiknya tidak bisa menahan dirinya lagi.

"Please deh! Kita cuma bakalan pisah seminggu, gak usah kayak orang mau kemana aja" Tasha memalingkan muka. Dia menghapus air matanya yang menetes di pipi secepat kilat. Tak ingin memperburuk keadaan yang sudah terlanjur sedih.

Fauzan yang berdiri di sebelahnya mau tak mau tersenyum tipis. Dia menepuk puncak kepala Tasha beberapa kali, menguatkan. "Hanya aku, atau aku juga liat air mata kamu netes?"

"Dia cuma pura-pura kuat" Fanya menyela. "Sini, gue juga mau peluk sahabat gue yang paling bandel" gerutunya membuka sebelah lengannya meminta Tasha ikut berpelukan bersama keduanya.

Hanif sendiri hanya memutar bola mata. "Oke teman teman. Ini cuma seminggu. Gausah lebay deh. Siva, Tasha, masuk bus. Busnya udah mau berangkat."

Diintruksi perintah semacam itu, ketiganya langsung memisahkan diri. Duanya masuk ke dalam bus, dan satunya lagi hanya melambai-lambaikan tangan sambil menyedot ingusnya dengan tak cantik. Tidak menyadari satu pasang mata yang menatapnya sambil geleng-geleng kepala.

.

.

Dan saat bus itu sudah menghilang dari pandangannya, Reyno mulai melancarkan aksinya, "Mau gue anterin pulang?"

Fauzan yang melihatnya mendengus geli, "modus"

***

"Gue gak nemu kursi kosong, Gue bisa duduk sama lo" Hanif bertanya pada Siva kemudian sedikit mengedip pada Tasha.

"Ngapain lo kedip-kedip?"

"Ah, enggk kok gue gak kedip-kedip. Lo salah liat kali. Jadi gimana gue boleh kan duduk sama lo?"

"Sorry, gue udah janji duduk sama Tasha. " sembari merentangan kedua tanganya.

"Sejak kapan gue janjian duduk sama lo?, Gue udah ada janji sam temen sekelas gue" Tasha melirik ke arah temannya yang berada di samping yang sedang menunggunya

"Udah ah gue kesana kasian temen gue. Kalo lo mau duduk sama Siva ga papa kok nif" Sambil melangkahkan kakinya menuju teman yang sudah menunggu sedari tadi.

"Yaudah, ga papa kalo lo mau duduk sini daripada gue sendirian" ucap Siva menggeser duduknya di dekat jendela

Ucapan Siva membuat Hanif tersenyum tipis. "Tenang aja gue gak bakal apa-apain lo kok. Yang ada gue bakalan jagain lo."

"Hah? Jagain? Emang gue anak kecil?" ucap Siva dengan polosnya. Setiap kali Hanif mengkodenya, dia selalu saja tidak peka terhadap apa yang Hanif ucapkan. Padahal Hanif berharap dia peka dengan apa yang Hanif ucapkan.

"Gak peka banget sih." Hanif memutarkan kedua bola matanya sembari duduk disamping Siva.

***

Akhirnya setelah menempuh perjalan yang cukup lama mereka singgah di rumah makan Bogor. Begitu turun dari bis Tasha langsung menghampiri Siva yang tampak melekat dengan Hanif.
"Lo mau bareng gue atau mau terus sama Hanif?" Tasha berucap datar membuat Hanif bingung. Hanif berpikir kalau Tasha mungkin mulai memendam rasa terhadapnya.

"Lo kenapa?" Hanif berinisiatif untuk bertanya. Entah kenapa timbul penasaran dalam hatinya yang meminta suatu jawaban akan perasaan Tasha.

"Gak apa-apa" Tasha memalingkan muka. Dia heran kenapa sedari tadi ponselnya tak kunjung berdering. Padahal dia benar benar mengharapkan kalau Fauzan akan menghubunginya sekedar menanyakan kabar. Dan di hadapkan pada pemandangan semacam ini, membuat batinnya semakin kesal.

Dia hanya merindukan seorang Fauzan.

"Yaudah gue bareng elo aja deh" Siva memecahkan keheningan. "Bareng ini orang malah diem-dieman. Bingung mau ngomong apa" gerutunya lalu langsung mengait lengan Tasha dan menariknya menjauh. Sebelum benar-benar menjauh, Siva menoleh lagi, "Di, mending lo temenin si Hanif biar gak ilang"

Ardi yang kebetulan sebagai ketupel dalam study tour kali ini, menjawab, "Lo serahin aja sama gue. Lagian ini udah jadi tugas gue juga kok"

Mendengarnya, Siva dan Tasha langsung memilih tempat duduk yang berada di nomer dua dari luar. Belum sempat mereka duduk ada yang menepuk pundak Tasha dengan pelan. Tasha berbalik dan dia dikejutkan dengan dua mata bernetra coklat terang mata yang dulu sempat menghiasi hari-harinya.

"Tasha kan?" tanyanya dengan senyuman menawan.

Tasha tertegun, "....Sammy?"

+TBC

Problem of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang