Up

57 2 0
                                    

"Apa kabar?"

"Baik." Sebuah senyum kecil terbit diakhir kalimat Sagara. "Kamu... kelihatan baik."

Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Sebuah senyum tipis setelah lima belas menit lebih yang dingin. "Apa kamu berharap sebaliknya?"

"Olivia, kamu tahu bukan itu maksud..."

"Oh lupakan, aku hanya bercanda," tangan kecilku melambai santai kemudian mengambil secangkir cappucino hangat dari atas meja dan mendekatkannya ke bibir.

Harum khas kopi membanjiri indera penciumanku. Seteguk cairan manis menghangatkan kerongkonganku yang kering dan dingin. Suasana terasa lebih baik setelah kami sama-sama menyesap kopi masing-masing. Tanpa canggung, sebuah senyum puas terbit di bibir kami.

Secangkir kopi hangat, waffle madu, dan teman mengobrol adalah perpaduan yang tepat untuk melewati satu pertemuan di musim dingin yang bersalju. Tidak peduli pertemuan itu adalah sebuah kejutan kecil yang masih bersifat misterius dengan Sagara yang masih diam menerawang jauh.

"Cara bercandamu... belum berubah."

Sebelah alisku terangkat menanggapi kalimat Sagara yang terdengar canggung, belum berubah juga. Ku pikir dia akan menghindari pembicaraan tentang dulu. Apa pun itu. Karena setiap kenangan kecil dapat mengantar ke alasan lima tahun kealpaan. Tapi, sepertinya dia sudah berbaikan dengan masa lalu.

Atau pertemuan tak sengaja kami memberi sebuah penawaran untuk sebuah kisah baru baginya. Sehingga ia membiarkan arus membawanya menuju hulu yang masih belum tampak.

"Kamu juga," balasku, mencegah otakku untuk berpikir akhir seperti apa yang mungkin ditawarkan oleh pertemuan ini. "Masih kacamata dan wajah serius yang sama."

Dia memutar matanya, tak percaya dengan komentar yang ku berikan padanya. "Apa yang kamu harapkan, Liv? Wajah ceria seperti badut?"

Humor yang payah tapi aku tetap tertawa karenanya. "Mungkin."

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Sangat Sagara sekali tiba-tiba merubah topik."

"Kamu tahu betul pertanyaanku masuk akal," bela Sagara. "Berlin itu luas dan berbeda dari semingu atau kemarin saat pameran teknologi dan buku sedang diadakan, kita bertemu hari ini."

"What a coincidence, then," akhir kalimatku terdengar seperti pertanyaan ditelingaku sendiri. Namun ku tutupi keraguan itu dengan gerakan mantap menyesap kopi yang anggun. "Just enjoy the fact that we meet here at this very right time."

"Oke." Kedua tangan Sagara terangkat di depan dada seperti orang menyerah tapi wajahnya terlalu bahagia untuk dikatakan menyerah.

Kami kembali terdiam sambil menikmati pesanan kami masing-masing. Berbeda dengan terdiaman sebelumnya, suprisingly, keadaan ini terasa begitu akrab. Diam yang sama-sama diam tanpa ada kabut awan aneh yang mengelilingi kami dan membuat tekanan.

Pertemuan kembali dengan seseorang dari masa lalu selalu membawa semua kenangan terangkat ke permukaan. Kalau tidak bisa disebut berebut muncul, maka kenangan itu naik ke permukaan satu per satu secara perlahan tiap kali indera menangkap sekelumit kecil yang bisa membawa ingatan masa lalu. Even a smell could bring you to the past. Seperti bau tubuh yang dulu begitu akrab di indera penciumanku. Lemon, rempah-rempah, dan aqua. Aroma yang hingga kini membuatku penasaran siapa brand pencetusnya karena selain dia, aku tidak pernah mencium aroma yang seperti itu bahkan serupa pun tidak.

"Aroma roti yang baru diangkat dari oven selalu menggoda," Sagara membelah rotinya dan menampilkan fla keju dan vanila roti itu. Aromanya yang manis masih bisa ku cium samar-samar.

"Sekarang kamu suka makanan manis," komentarku sedikit terkejut dengan perubahannya. Setahuku Sagara bukan penyuka makanan manis kecuali cokelat dan itu pun ia makan sebulan sekali paling sering. Dia itu bitter addict.

Sagara mengangkat potongan roti di garpu kecilnya yang penuh dilumuri fla. "Dulu, ada yang pernah bilang hidup itu harus seimbang dan saling mengisi, contohnya kopi dan roti ini."

Bibirku terkatup meski akhirnya mulutku tidak bisa untuk tidak bicara. "That was me."

Kepala laki-laki itu mengangguk puas. "Told ya that was right but riddiculous at the same time, wasn't it?"

"Contohmu merusak filosofinya," ejekku tidak terima. "It sounds too cheesy when you compare a cup of coffe and a really sweet bread. Padahal, kenyataannya teori keseimbangan dan saling mengisi dalam hidup tidak semudah itu, Gara."

"Kalau aku beri contoh yang terlalu sophisticated kamu akan... bosan," Sagara seperti menelan kembali rangkaian kalimatnya yang sudah tertata rapih di otaknya. Dia tidak melanjutkan ucapannya dan memakan roti itu cepat dan menyesap espresso pekatnya dengan senyum puas yang berlebihan.

Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan Sagara dalam satu paket komplit selain sophisticated-nya. Sagara itu rumit tapi dengan kerumitannya dia terlihat baik, terlalu baik. Sempat, aku dan beberapa teman SMA menyebutnya Mr. Sophis, kependekan dari Sophisticated karena sifatnya yang rumit untuk dimengerti. Dia terlalu pendiam dan terlihat absolut dalam dunianya sendiri tapi di saat yang sama ternyata dia banyak menyuarakan pikirannya dan memperhatikan orang-orang yang berada di sekelilingnya. Sulit menebaknya sampai benar-benar mengenal laki-laki itu.

"Gara... si Mr. Sophis." Sagara sempat memandangku seperti merasa terpanggil kemudian membuang wajah kesal begitu mendengar lanjutan ucapanku. "You're funny, as before."

Up And UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang