Lemon ; Harum

36 1 0
                                    

"Tebak buah apa yang paling banyak manfaatnya untuk tubuh?"

Tak ada jawaban. Sagara masih sibuk dengan buku tulis dan kalkulatornya seakan hidupnya bergantung dengan dua benda mati itu. Sesekali ia menaikkan kacamatanya dan diam menatap deretan angka di buku soal yang ada di atas buku tulisnya. Selain mata sepertinya indera lain dimatikan.

Kesal karena tidak berhasil menarik perhatian Sagara, aku menghempaskan tubuh ke sandaran kursi. Sebenarnya tugas fisika milikku juga belum terselesaikan bahkan tertinggal jauh dengan pekerjaan Sagara. Tapi, rasanya aku sudah bosan berkutat dengan angka keriting, lebih dari 5 angka dibelakang koma untuk waktu dua jam ini. Aku butuh penyegaran, entah apa itu, tapi satu-satunya hiburanku di perpusatakaan ini sedang sibuk dengan tugasnya sendiri.

Aku berniat membuka kunci layar ponselku ketika Sagara dengan tiba-tiba dan suara yang pelan menjawab pertanyaanku. "Kelapa."

"Bukan!" sahutku sedikit berteriak yang langsung mendapat teguran oleh pengunjung perpustakaan lain. Aku mendesis tidak suka yang tentu saja tidak mereka acuhkan.

"Terus apa?" Sagara bertanya dengan suara datar sambil terus mengerjakan tugasnya.

"Terserah," sahutku asal lalu menundukkan kepala ke atas lipatan tanganku di meja. Dinginnya perpustakaan membuatku mengantuk dan tanpa sadar tertidur.

Sebuah sentuhan lembut di lenganku berhasil membuatku terbangun. Tidak lama suara seseorang berbisik di telingaku terdengar dan membuat jantungku berdetak cepat dan tidak karuan.

"Sweet dream, dear!"

***

Kami masih saling diam dengan tangan bersedekap dan tatapan tajam pada satu sama lain. Ramainya keadaan kafe tidak menganggu kami sama sekali. Bahkan suara mereka terdengar menyatu dengan musik lembut yang dimainkan operator. Mengantar kami semakin dalam pada kekesalan masing-masing.

"Berhenti bersikap menyebalkan, Ga!" ujarku setengah memohon. "Kamu tahu betul aku terlambat karena jalan yang macet."

Sagara memutar matanya tidak percaya. "Siapa yang percaya alasan sejuta umat itu Liv kalau dengan kedua mataku melihat kamu diantar dengan motor oleh Reza?"

Sebersit perasaan kesal yang tadi ku rasakan pada Sagara atas sikap menyebalkannya berubah. Aku senang dia menyebalkan karena melihatku dengan Reza. Bukankah itu berarti, "Are you jealous?"

Crap! Mulutku sepertinya perlu disekolahkan atau dibelikan penyaring. Benar-benar tidak mengenal batas. Seorang Sagara yang selama dua tahun ini hanya menjadi temanku kenapa bisa merasakan hal seperti itu.

"Salah?"

"Aku bercanda sumpah, ini mulut tidak... eh, tunggu," tadi apa jawaban Sagara? Salah? Aku yang salah atau apa. "Maksudmu?"

"Habiskan es krimnya," sahut Sagara tak acuh. Dia meminum kopinya tanpa memedulikan kebingunganku. "Dasar perempuan aneh, bisa-bisanya pesan es krim padahal sedang hujan deras begini."

"But, you've ever been jealous to this weirdo girl, Dude."

Mata Sagara terbelalak dan ia tersedak sampai terbatuk keras. Geez... my mouth!

***

"Aku tahu jawaban pertanyaanmu sebulan lalu itu," ujar Sagara ketika kami baru sampai di taman dekat perpustakaan kota.

Sepulang sekolah, Sagara sering pergi ke perpustakaan sekolah untuk mengerjakan tugas sekolahnya dan kebiasaan itu sekarang ia lakukan bersamaku karena... entah. Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama di luar rumah dan Sagara menawarkan pilihan itu di hari pertama percakapan kami. Percakapan absurd yang berujung dengan aku semakin penasaran dengan laki-laki seperti Sagara.

Jadi kejadian 'sweet dream, dear' itu sudah sebulan. Dan baru seminggu lalu Sagara bilang dia merasa jealous padaku. Setelah kejadian itu hubungan kami menjadi sedikit aneh. Maksudku, aneh dalam arti yang baik. Sagara tiba-tiba berubah cerewet dan sering mengirim pesan untuk mengingatkanku ini dan itu, meski sebelumnya dia juga sering mengingatkanku tapi setelah hari itu pesannya memiliki nada yang lain. Seakan jantungku bertalu tiap membaca nama Sagara muncul di pemberitahuan dan bibirku tersenyum lebar tiap membaca pesannya.

Gerakan Sagara yang tiba-tiba membuatku tertegun. Dia mengarahkan kamera ponselnya ke arahku kemudian menunjukkan hasil bidikan kameranya padaku dengan tampang mengejek. "Cengok sekali mukamu!"

"Ish..." desisku kesal. "Gara hapus foto itu!"

Sagara menggeleng puas. "Siapa suruh melamun tidak jelas."

Aku bukan melamun tidak jelas, bodoh!

"Aku bilang aku tahu jawaban pertanyaanmu sebulan lalu di perpustakaan kota itu," Sagara mengabaikan wajah sebalku lalu melanjutkan ucapannya. "Lemon kan jawabannya?"

Otakku berpikir cepat memikirkan pertanyaan mana yang dia maksud. "Oh, tebak-tebakan yang itu."

"Buah apa yang memiliki banyak manfaat untuk tubuh," ucap Sagara dengan tidak sabaran.

"Yep, lemon." Padahal aku sudah tidak peduli lagi dengan jawaban Sagara tapi orang itu ternyata masih memikirkannya. "Lemon itu serba guna. Kulitnya bisa buat hiasan masakan, air perasannya bisa diminum, dan ampasnya bisa dijadikan masker atau penghilang bekas luka di tubuh, aromanya juga sangat enak daripada kelapa."

Sagara mengangguk-anggukkan kepalanya takzim tapi aku tahu sebenarnya dia tidak peduli dengan penjelasanku barusan. Buktinya sekarang dia melanjutkan makan es krim coklatnya.

"Mama suka sekali beli sabun bau lemon di rumah."

"Oh... pantes."

"Kenapa?"

"Baumu seperti lemon. Menyenangkan." Aku mengucapkan kata terakhir dengan sangat pelan, tidak berniat membuat Sagara mendengar ucapanku.

r6

A/N :

Yesss! Saya update dua chapter per minggu! 

Ada yang tau Stars and Rabbit? Lagu Worth It itu jadi gerbang pembuka saya pada karya-karya mereka yang lain. You must try to listen The House and watch the mv

Up And UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang