Lemon ; Pahit

23 1 0
                                    

Ungkapan manusia hanya bisa berencana rasanya tepat sekali diucapkan pada situasi aku dan Sagara saat ini. Rangkaian rencana yang sudah kami susun sejak semester enam SMA sekarang hanya menjadi seonggok wacana. Meninggalkan kekecewaan karena rencana itu terlalu indah untuk dibuang namun terlalu tidak mungkin untuk diwujudkan.

Pengumuman penerimaan mahasiswa baru saja diumumkan tadi pagi melalui internet. Sagara tidak diterima di Jogja tapi sebuah surat baru saja sampai ke rumahnya hari ini dan menyatakan ia lolos beasiswa pemerintah Jepang. Sedangkan aku kebalikannya. Aku diterima kuliah di Jogja tapi tidak lolos beasiswa itu. Seharusnya kami merasa senang untuk berita bahagia tersebut namun detik ini untuk tersenyum saja kami kesulitan.

Segelas es cappucino dan greentea latte seolah menjadi saksi bisu kediaman kami berdua di meja sudut kafe, jauh dari keramaian pengunjung dan jendela kaca yang memperlihatkan jalan raya yang dipenuhi mobil dan motor. Alunan lembut John Meyer membuat kami tidak menyadari berapa lama kebisuan ini. Kepala kami sama-sama tertunduk dengan pikiran sibuk masing-masing.

Jemariku bergerak-gerak gelisah, saling bertautan seperti anyaman kemudian terurai kembali seiring dengan menghela napas keras. Berharap Sagara peka aku sudah tidak sanggup lagi bertahan dengan kebisuan ini. Meskipun aku kecewa bukan berarti aku tidak senang dengan diterimanya Sagara. Aku menerima keputusan –jikalau- Sagara melanjutkan studi ke Jepang, justru aku akan lebih kecewa lagi jika Sagara menolak beasiswa itu.

"Selamat, Ga," ucapku tulus. Pada akhirnya aku harus memulai percakapan ini jika tidak ingin berakhir sia-sia.

"Aku tidak akan mengambil beasiswa itu." Rasanya seperti baru saja mendengar gelas kaca jatuh ke lantai dengan keras dan pecahannya menyebar luas ke permukaan lantai.

"Ka-kamu bercanda kan, Ga?" suaraku terdengar panik dan tidak percaya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Sagara sekarang tapi keputusannya benar-benar tidak masuk akal. Ada ribuan orang yang berusaha mendapatkan beasiswa ini dan seorang Sagara malah membuang kesempatan emas tersebut. "Kenapa?"

Sagara menggelengkan kepalanya lalu meminum cappucinonya dengan santai seolah apa yang baru saja ia katakan bukan hal penting. "Kenapa tidak diminum greenteanya?" dagu Sagara menunjuk minumanku yang masih utuh.

Kini giliranku yang menggeleng. Minuman berwarna hijau itu sudah tidak menarik lagi buatku, ada yang jauh lebih penting ketimbang menghabiskan pesananku. "What's your plan?"

Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Ia malah meminum cappucinonya hingga setengah lalu memandang interior kafe dengan santai.

"Ga!" desakku tidak sabar. Aku paling kesal dengan sikap Sagara yang kelewat tenang seperti itu.

"Aku akan mendaftar di kampus yang sama denganmu lagipula kita bisa mencoba daftar shortcourse bersama. Itu lebih menguntungkan daripada ikut beasiswa. Maksudku, kita bisa mendapat dua pengalaman sekaligus; kuliah di dalam negeri dan luar negeri, teman pergaulan kita juga lebih luas."

Bohong. Jawaban Sagara terdengar aneh buatku. Terlalu dibuat-buat. Aku merasa alasan Sagara yang sesungguhnya adalah aku. Meskipun ini terdengar terlalu percaya diri tapi tidak ada yang tahu jalan pikiran Sagara dengan pasti. Laki-laki itu terlihat tidak peduli dan selalu melakukan segala sesuatu berdasarkan logika padahal sebaliknya. Buktinya adalah ia rela mengubur keinginannya untuk mendaftar kuliah di Bandung dan mengikutiku ke Yogya saat pendaftaran dulu. Dan sekarang dengan alasan yang tidak masuk akal juga ia menolak beasiswa ke Jepang.

Bukan seperti ini rencananya. Bukan Sagara yang harus mengikutiku atau pun sebaliknya. Ku rasa hubungan kami sudah mengarah pada hubungan tidak sehat yang saling meniadakan. "Sagara."

Up And UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang