"There will always be a reason why you meet people. Either you need to change your life or you're the one that'll change theirs"- Loubis and Champagne
----
"Do I really need the answer?" Sagara bertanya pada dirinya seolah tidak yakin dengan keinginannya sendiri. "Apa itu bisa merubah yang akan terjadi?"
Aku mengedikkan bahu tidak tahu dengan jawaban atas pertanyaan Sagara yang ambigu. "Ku rasa seharusnya kamu tanyakan itu lima tahun tahun lalu, Ga."
Sebelah alis Sagara terangkat meminta penjelasan lebih.
"Aku tahu seharusnya saat itu aku... minta maaf ke kamu bukannya minta ditemani selayaknya tidak terjadi apa-apa," ujarku.
Pada akhirnya pertemuan tak terduga kami ini harus kembali membahas hal itu. Meskipun aku berusaha mati-matian untuk tidak mengungkitnya. Tapi sikapku yang seperti itu menahan kami untuk sampai ke hulu bahkan mungkin diperlukan satu titik persimpangan lagi untuk mempertemukan kami dan membawa kami dengan paksa pada hulu.
Masa lalu tidak bisa selamanya dihindari, aku tidak bisa selamanya bersembunyi dari rasa bersalah dan menyesal atas sikap dan ucapanku saat itu. Meskipun yang ku lakukan adalah yang terbaik untuk kami. Meskipun akhirnya kami sama-sama terluka untuk kurun waktu yang cukup lama.
"Aku minta maaf untuk menyebutmu seperti... sebuah hambatan untukku," ujarku tulus pada Sagara yang menatapku dalam. Dia tidak berkata apa pun. "My bad. Selalu meninggalkan kesan negatif padahal aku tidak bermaksud begitu."
Sudut bibir Sagara terangkat sedikit. Sinis. Ia sudah tidak lagi menatapku melainkan memainkan gelas espressonya dengan wajah mengeras.
"Hubungan kita saat itu terlalu ambigu sehingga aku bingung bagaimana harus meluruskan arus yang sempat berbelok." Aku tidak peduli jika Sagara menolak semua penjelasanku. Pertemuan kami kali ini harus benar-benar mencapai hulu agar kami bisa saling memaafkan dan menerima masa lalu kami.
"Waktu itu, tanpa kamu dan aku bilang, kita sama-sama tahu perasaan kita lebih dari sekedar teman atau sahabat. Aku lihat seorang Sagara yang kaku dan absolut dalam dunianya sendiri saat... menyukai seseorang bisa begitu berubah. Pada awalnya itu terlihat manis, kamu menyesuaikan diri denganku. Ikut bersosialisasi dengan teman-teman sekelas dan tersenyum pada orang-orang yang kamu kenal. Tapi lama-kelamaan itu mengerikan. Kamu jadi menyesuaikan keinginan bahkan masa depanmu denganku. Aku tidak menyadari ini sampai kamu bilang akan menolak beasiswa ke Jepang.
"Aku terbayang perasaan kedua orangtuamu seandainya kamu benar-benar melakukannya. It was wrong, Ga. Kamu bisa terbang lebih jauh seandainya aku tidak ada. Dan mungkin aku pun begitu. Waktu itu ku pikir... kita bisa sama-sama fokus pada masa depan masing-masing."
Aku menghembuskan napas keras. "Maaf. Seharusnya aku tidak perlu mengucapkan serentetan alasan karena ya, aku salah."
"Kamu salah apa sih, Liv?" tanya Sagara tenang.
Lah... iya aku salah sudah... Tunggu, kalau dipikir-pikir yang ku lakukan tidak salah. Itu memang kenyataannya saat itu.
"Seharusnya aku sudah memikirkan kalau alasanmu waktu itu memang ini sehingga Tuhan tidak perlu mengatur pertemuan ini, biar kita yang mengatur. Tapi aku terlalu marah sama kamu saat itu bahkan sampai beberapa tahun berikutnya. My bad.
"Daripada marah, seharusnya aku mengucapkan terimakasih pada Olivia 18 Tahun yang sudah menyelamatkan kita. Seharusnya aku mengucapkan ya pada Olivia 21 Tahun yang tiba-tiba datang seperti angin. Mungkin jika waktu itu aku tidak terlalu terbawa emosi kita tidak seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Up And Up
General Fiction"Beberapa orang percaya pertemuan kembali antara dua hati yang dulu pernah bersatu berarti dua hal. Yang pertama, ada sesuatu yang harus diselesaikan dari kisah lama. Atau... membuat kisah baru yang lebih baik dari versi sebelumnya." ---officially...