Lemon ; Asam

23 1 0
                                    


Sagara Sabda Alam, teman kelasku sejak awal masuk SMA hingga kelas dua belas ini tapi beberapa waktu terakhir kehadirannya bagiku lebih dari sekedar teman sekelas dan bertukar pikiran. Kehadirannya berarti lebih bagiku sekarang. Sehari tanpa berbicara padanya membuatku bingung seperti ada yang kurang.

Aku tidak terlalu mempedulikan bagaimana perasaan Sagara asalkan dia selalu berada di sampingku itu cukup. Tidak perlu ada drama pengakuan perasaan atau sejenisnya karena aku sudah puas dengan keberadaannya yang selalu ada untukku. Tapi, semenjak ada seorang adik kelas yang selalu membuntutinya kemana pun dan kapan pun membuatku memikirkan ulang semuanya tentang aku dan Sagara.

Adik kelas itu seperti sengaja untuk mengganggu kami, aku lebih tepatnya. Dia selalu menyela saat kami sedang berdiskusi di perpustakaan atau saat kami sedang mengobrol di kantin sepulang sekolah. Bahkan dia sampai mengikuti kami ke taman dan perpustakaan kota. Yang lebih mengesalkan adalah Sagara sama sekali tidak terlihat kesal dengan sikap adik kelas menyebalkan itu. Dia malah menanggapi semua ucapan perempuan tidak jelas itu.

Bahkan sekarang Sagara membatalkan janjinya untuk menemaniku menonton film di bioskop karena adik kelas centil itu memintanya mengajarkan beberapa materi fisika yang katanya untuk ujian hariannya besok. Ugh God, who care ujian hariannya akan mendapat nilai buruk jika tidak belajar dengan Sagara!

"Halo?" Aku mengabaikan panggilan Sagara. "Liv, aku minta maaf belum bisa menemanimu menonton film hari ini, ganti besok saja ya?"

"Tidak usah, aku bisa berangkat sendiri atau ajak yang bisa."

"Ya sudah, ajak yang lain saja, jangan berangkat sendiri," ujarnya lembut. Dia terdengar merasa bersalah dan khawatir. "Jangan terlalu malam pulangnya."

"Sudah sana ajari Sinta... Santi, Sasa siapalah itu, tidak perlu sok khawatir dengan siapa aku pergi!"

"Selia namanya."

"I don't give a thing with her name, Gara!"

Sagara menghela napasnya berat. "Kamu pergi dengan siapa?"

"Reza!" jawabku ketus. "Tidak usah protes, kamu sendiri yang membatalkan janji."

Tidak ada sahutan dari Sagara sampai aku harus melihat layar ponselku apakah sambungan kami sudah mati. Tidak. Sambungan telepon antara aku dan Sagara masih tersambung. "Halo, Gara?"

"Batalkan dengan Reza, aku saja yang temani kamu," suara Sagara terdengar dingin.

"Terus si Santi-Sinta itu bagaimana?"

"Tidak usah kamu pikirkan," jawab Sagara final. Sambungan telepon terputus.

Ini memang yang ku mau tapi terasa salah. Egois namanya sampai mengorbankan orang lain untuk kesenanganku sendiri. Lagipula janji Sagara dengan Sinta-Santi itu lebih mulia daripada janji nonton kami semula. Aku kan hanya ingin menonton akting Jared di film barunya bukannya belajar untuk ujian.

***

Kesalahan terbesarku dalam kehidupan SMA yang tenang dan damai adalah bersikap egois atas Sagara. Ketidakalpaan Sagara dalam kisah hidupku beberapa bulan ini membuatku lupa bahwa Sagara merupakan seorang tokoh utama dalam kisahnya sendiri. Dimana ada alur cerita yang menantinya untuk dijalankan. Ada kisah yang harus ia tulis dan aku hanya tokoh yang mungkin akan segera menghilang dalam kisahnya, tidak ada yang tahu. Dan ada tokoh lain yang harus ada untuk menyempurnakan alur ceritanya.

Seharusnya aku tidak bersikap kekanakan dan membuat Sagara memilih antara aku atau Selia, yang namanya sekarang ku ingat karena terlalu sering diucapkan oleh orang-orang tiap kali aku lewat. Aku menggali kuburanku sendiri. Perempuan itu menyebarkan gosip bahwa aku merebut dan memonopoli Sagara dari semua orang di sekolah. Walaupun pada kenyataannya tidak. Atau mungkin ya. Entahlah. Gosip itu membuat hubunganku dengan Sagara merenggang karena aku berusaha menjauh dari laki-laki itu. Bahkan hampir seluruh isi sekolah menjauhiku karena itu.

Gosip menyebar cepat seperti bau busuk bangkai tikus di pojok ruangan. Memenuhi seisi ruangan sebagaimana molekul udara bergerak ke seluruh space. Aku terlalu jumawa untuk bersikap masa bodoh seakan tidak ada apa-apa.

"Kenapa kamu menjauh?" Sagara tiba-tiba duduk di hadapanku dengan wajah kesal dan bingung. Dia pasti kesal karena sudah seminggu lebih aku mengabaikan pesan dan teleponnya dan juga bingung atas perubahan sikapku.

Tanpa berniat menjawab, aku hanya memandangi kedua mata kelam Sagara yang memabukkan seperti laut. Aku seperti melihat ombak bergerak terombang-ambing di kekelaman matanya. Tangannya saling bertaut di atas meja, gerakan khas Sagara saat sedang bingung.

"Gosip itu?" Sagara mencoba menebak jawabannya. "Atau aku berbuat salah tanpa sadar?"

Aku tahu kesabaran Sagara akan segera habis jika tidak kunjung ku jawab. Kesabarannya tidak seluas namanya, lautan. He has a short temper terutama pada hal-hal yang tidak ia sukai dan permainan tebak-tebakan adalah salah satu hal yang paling tidak ia sukai.

"Fuck's sake, aku bukan dukun yang bisa menebak isi pikiranmu, Liv!" Kesabarannya sudah mencapai ambang batas. Sebentar lagi ia pasti akan mengeluarkan laharnya. "Jangan bersikap seperti perempuan kebanyakan yang berharap laki-laki memahami mereka tanpa mengucapkan sepatah katapun."

"Liv!" Sagara merebut buku yang sedang ku baca dengan kasar lalu menutupnya tanpa memberi tanda pada halaman buku yang terakhir ku baca.

"Ga, berhenti bersikap menyebalkan!" seruku kesal, berusaha merebut novel yang sekarang terangkat ke atas oleh tangan Sagara.

Sagara menjauhkan tangannya semakin tinggi, membuatku yang bertubuh pendek dan dibatasi meja antara kami semakin kesulitan. "Jawab dulu."

"Ga, balikin sini!" aku berusaha menggapai novel itu lalu menyerah setelah terantuk kaki meja dan menghindari lirikan orang-orang yang sedang lalu lalang di lapangan basket dekat taman sekolah.

"Kamu kenapa?" tanya Sagara dengan suara yang lembut dan membujuk. Dia menyentuh tanganku kemudian menyerahkan novel itu.

"Ku pikir aku memang butuh waktu untuk menjauh sementara," jawabku pelan. Sedikit ragu dengan keputusanku sendiri. "Untuk merenungkan anggapan orang-orang."

"Buat apa?" Sagara berdecak tidak terima. "Kamu tahu betul gosip itu salah. Kamu tidak pernah memonopoli siapa pun apalagi aku. Aku memang tidak pernah dekat dengan siapa pun, justru kamu yang mengajakku bersosialisasi dengan semuanya. Keluar dari duniaku sendiri dan membaur."

"Aku, Ga!" bantahku tidak suka. "Aku yang berubah posesif sama kamu. Aku tidak mau ada orang yang merebutmu atau mengalihkan fokusmu dariku."

Mata Sagara bergerak cepat mendengar ucapanku. "Lalu, kenapa?"

"Itu egois namanya. Kamu juga punya kehidupan sendiri dimana aku bukan fokusmu."

"Kalau aku tidak keberatan, kenapa kamu harus mempermasalahkannya?"

Benar. Kenapa?

"See? Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Sagara puas.

Aku mendengus tidak suka. "Tetap saja..."

"Listen!" Sagara menggerakkan tangannya mencoba menarik perhatianku. "I need you and that's all you have to worry. Don't give a fuck about what others would see. It doesn't matter and I think kamu bukan tipe orang yang peduli komentar orang."

________________________________________________

Catatan :

Bab ini buat saya drama sekali dan aneh. Tapi otak saya udah stuck nggak bisa mengubah ceritanya (malas tepatnya). Jadi nikmatin aja lah (kalau-kalau ada yang baca)

Up And UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang