And

16 1 0
                                    


Berlin, meskipun siang, matahari tidak tampak. Sehingga suhu udara tidak begitu membaik ketika jam menunjukkan pukul 12 siang tepat. Bahkan di dalam ruangan pun kami masih bisa melihat kepulan asap putih yang keluar tiap mulut kami bicara. Mungkin keputusanku untuk menikmati akhir tahun menyenangkan di Eropa adalah keputusan yang salah. Karena kenyataannya orang-orang Eropa lebih memilih untuk berlibur ke daerah tropis daripada tinggal di negaranya sendiri yang sedang turun salju.

"Jadi, kamu ke sini untuk liburan," Sagara mengulang informasi yang baru saja aku paparkan tadi. "Rencananya kemana saja?"

"Kemana saja," sahutku ringan. "Jerman, Itali, Perancis, Inggris... terserah kemana kaki melangkah."

Bohong. Aku hanya akan pergi ke beberapa tempat yang sudah direncanakan, yang dekat dan ada kenalan yang harus dikunjungi saja. Tapi, berhubung aku masih belum tahu dimana saja tempat itu maka anggap saja ucapanku adalah fakta.

"Berapa hari rencanamu berada di Berlin?"

"Dua hari. Kenapa?"

"Kalau kamu masih berada di Jerman sampai Hari Natal, aku bisa ajak kamu ikut acara Komunitas Pelajar Indonesia di Berlin."

"Acara apa?"

"Semacam charity membagikan selimut, baju hangat, dan makanan ."

"Di Jerman ada juga orang-orang yang..." aku kesulitan mencari istilah yang tepat. "You know, deserve some things from charity?"

Sagara mendengus. "Tentu saja ada, Olivia. Meskipun suatu negara dikatakan maju bukan berarti tidak ada orang-orang semacam itu. Mereka ada meskipun jumlahnya tidak sesignifikan di Indonesia."

"Kamu tidak pantas bilang Indonesia seperti itu!"

"Kenapa?"

"Sekarang, kamu tidak mau pulang ke Indonesia dan membangun negerimu sendiri. So, don't dare to say Indonesia is such blablabla. Kecuali kamu sempat melakukan sesuatu dan benar-benar hasilnya payah."

"Siapa juga yang mau pulang dan tidak dihargai? Cari pekerjaan, sandang, pangan, dan papan susah. Giliran bule mudah sekali dengan alasan investor asing. Mending di luar, meski pun jadi kacung, kami tidak kehilangan harga diri dan hak asasi."

"Memangnya kamu mengalami itu?"

"Tidak perlu untuk mengalami semua itu untuk menyimpulkan betapa pola pikir bangsa kita itu payah," Sagara terlihat mulai menggebu-gebu. "Masyarakat tidak menghargai manusia, yang mereka hargai itu uang dan kekuasaan. Beberapa orang mengira dengan sekolah tinggi-tinggi mereka akan mendapat paling tidak satu dari dua hal itu. Tapi mereka salah, pendidikan bahkan tidak bisa membawa mereka mendekati keduanya. Banyak orang cerdas yang tidak menjadi apa-apa jika hanya mengandalkan otaknya."

"Kamu lihat kasus PT. Dirgantara-nya Pak Habibie yang sempat berhenti beroperasi padahal saat itu perusahaan berhasil memproduksi pesawat yang katanya lebih baik daripada pesawat buatan Boeing dan pesawat itu berakhir menjadi rancangan saja. Itu semua karena apa? Kekuasaan dan uang, Liv. Saat itu Indonesia butuh uang, IMF bersedia memberi pinjaman tapi dengan syarat tak tertulis pesawat Pak Habibie tidak usah naik produksi dan pasar. Karena apa?"

"Karena perekonomian Amerika terancam kalau sampai ada pesawat yang bisa mengalahkan produknya Boeing," jawabku ragu.

"Tepat!" Sagara menjetikkan jarinya dengan puas. "Kalau kamu bilang orang-orang cerdas itu seharusnya pulang dan membangun negeri sendiri, pemerintah bisa menjamin hasil karya anak-anak bangsa itu tidak end up jadi rongsokan sampah?"

Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak tahu jawabannya tapi karena jawabannya sudah terpampang jelas tanpa harus diutarakan. Lagipula aku tidak benar-benar tertarik membahas masalah ini. Aku menghargai keputusan mereka yang mencari kehidupan lebih layak dan baik di luar. Itu keputusan mereka untuk kebaikan hidupnya. Sama seperti Sagara yang memutuskan pergi dari Indonesia sejak kuliah. Jahat sekali kalau memaksa mereka kembali untuk membangun bangsa sedangkan mereka tidak diberi jaminan kenyamanan hidup.

"Ga, kita tidak perlu membahas ini," ujarku tegas. "Pembahasan ini terlalu sophisticated, menurut istilahmu."

Sagara tertawa mendengar keberatanku. Dia kembali menyesap kopinya yang sudah tidak lagi mengepul. "Sekarang kamu tinggal dimana?"

Pergantian topik yang terlalu cepat ini sempat membuatku bingung. Tapi, sekali lagi, aku teringat sedang mengobrol dengan Sagara yang sering memikirkan banyak hal dalam satu waktu. "Capital city. Aku bekerja di sebuah perusahaan multinasional."

"Wow!" komentar berlebihan Sagara membuatku tersenyum kecut. "Jangan tersinggung, aku hanya kagum. Maksudku, look, that was your dream, right?"

Mimpiku. Menjadi seorang wanita yang berkarir di sebuah perusahaan multinasional dan menjadi salah satu orang penting di dalamnya memang impianku saat SMA dulu. Inspirasi yang datang dari seorang wanita paling tangguh di hidupku. Ibu.

Dulu kami pernah membahas tentang mimpi, harapan, dan rencana masa depan setelah lulus SMA. Berbicara seakan keadaan berubah kecuali satu. Kebersamaan kami. Seolah mendahului takdir, keyakinan kami atas kehadiran masing-masing di dalam rencana hidup itu.

Dan aku sudah berusaha keras untuk menghalangi satu kenangan ini untuk naik ke permukaan bersama kenangan lainnya. Karena terlalu memalukan membicarakan betapa jumawanya kami saat itu. Tuhan pasti tengah tertawa sekarang pada kami, sepasang manusia yang merangkai mipi terlalu indah dan melupakan betapa Tuhan lebih punya kuasa atas segala kepastian dan ketidakpastian hidup.

Tapi, Sagara mencungkil batu penahan yang ku pasang di atas kenangan itu. Seolah ada hal yang masih harus dibahas atas kenangan itu atau rentetan kejadian setelahnya.

"Kita dulu terlalu jumawa, Ga," akhirnya aku mengeluarkan isi pikiranku selama ini. Sudah bertahun-tahun aku memikirkan hal ini. Kesombongan dan kenaifan masa muda yang, meski aku ingin, tidak bisa lepas dari siapa aku sekarang.

Diamnya Sagara ku artikan sebagai persetujuannya. "Siapa yang mengira bahkan sebelum semua rencana itu dimulai, kita harus mengubah awalnya."

"Ketika kamu tiba-tiba mengakhiri segalanya tepat sebelum kita memulai," Sagara melanjutkan ucapannya setengah melamun. "I wonder why you did that. Did I do something wrong or Was I not good enough?"

Seperti ada seember air dingin menyiram tubuhku ketika mendengar nada suara Sagara yang mengalun sedih. Perasaan bersalah yang selama ini tidak pernah lagi muncul seketika merebak kembali.

"Do you really need the answer?"

_________

Catatan :

Do you really need the answer?

Iya saya tahu, sudah dua kali ini saya terlambat posting. Tapi kehidupan dunia nyata sedang minta perhatian penuh sampai membuat rencana saya menjadi wacana. Dan besok sebenarnya saya (insya Allah) akan kelulusan. *Akhirnya, alhamdulillah datang juga waktunya*

Up And UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang