3. Pertempuran Dimulai

184 53 17
                                    

       Suasana di sini sangat ramai. Banyak siswa siswi yang berlalu lalang sambil membawa makanan atau minuman. Mereka keluar dan masuk dari pintu sambil ketawa-ketiwi, sesekali mereka melirik ke arah meja paling pojok sambil senyum-senyum sendiri. Mereka melihat leader dari keempat cowok yang duduk di sana sedang bengong. Ada sebagian yang memotonya dari jauh secara diam-diam, bahkan ada yang secara terang-terangan. Bagi mereka, ini adalah adegan langka yang harus mereka abadikan. Apalagi jambulnya yang membuat siapa saja ingin meneduh di bawahnya. Oleh karena itu, mereka tidak menyia-nyiakannya.

       Tatapan sang leader lurus. Pikirannya berkelana kesana kemari, ia memikirkan peristiwa tadi pagi yang agak awkward.

        Pagar tinggi itu tertutup rapat. Didalamnya, lapangan luas itu sepi. Peraturan di Angkasa National memang lumayan ketat. Tapi selalu ada saja yang melanggarnya. Seperti sekarang ini, Ale dan adik kelasnya melanggar peraturan sekolah yang seharusnya datang tepat waktu. Jika Ale memang terbiasa datang telat, adik kelasnya memang karena bangun telat.

       "Lo masuk aja, bawa buku pelajaran yang sebelum istirahat. Tas nya dititip di gua, ntar istirahat temuin gua di kantin," kata Ale di warung kecil belakang sekolah, tempat mereka nongkrong juga, selain di halte.

       "Gua masuk lewat mana? Trus lo gimana?"

       "Udah lo tenang aja, gua mah gampang," Ale meminta tas Alena untuk dititipkan padanya. "Gua bantu lo manjat pager."

       Ale menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Hmm... lo pake daleman kan?" ucapnya tiba-tiba.

       Pertanyaan macam apa itu? Orang mana yang berani menanyakan daleman perempuan? Jawabannya hanya Ale.

       "Gila lo!" Alena menginjak kaki Ale.

       Ale mengaduh kesakitan. Sejurus kemudian ia menyengir, menyadari pertanyaan anehnya.

       Wangi Alena yang terus memasuki indera penciumannya, membuat ia ingin selalu berada di dekatnya. Ale bagaikan lebah yang selalu ingin hinggap di bunga bernama Alena.

       "Eh, lo ngapa somplak?" Didit menyenggol bahu Ale lantaran Ale senyum-senyum sendiri. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, menyadari apa yang dipikirkannya tadi adalah hal yang "aneh" sekaligus lucu. Ia juga baru sadar kalau sedari tadi dirinya menjadi pusat perhatian oleh kaum hawa yang berada di kantin. Meskipun itu adalah hal yang biasa baginya, tapi ia sedikit risih dengan tatapan itu.

       "Kak, tas gue mana?"

       Tiba-tiba seorang adik kelas dengan rambut dikuncir kuda datang tanpa perasaan canggung atau pun... takut? Mereka berempat sedikit tersentak karena dia datang dengan tiba-tiba. Mereka berempat merasa sedikit bingung pada adik kelasnya yang satu ini. Berani-beraninya ia datang ke kandang singa. Kini, bukan hanya kaum hawa lah yang memperhatikan objek tersebut melainkan seluruh warga kantin. Walapun mereka semua mempunyai aktivitasnya sendiri, tapi tetap saja mereka menyempati diri untuk melihat ke arah Ale.

       Ale bangkit, menghadap adik kelasnya yang satu ini. Adegan ini menjadi lebih seru dan menegangkan. Dan sedetik kemudian, keadaan kantin menjadi tidak terlalu berisik. Ale memberikan tas hitam itu kepada pemiliknya. Sang pemilik mengambil tasnya sambil berkata, "Makasih atas bantuannya."

       Dan Ale membalasnya dengan senyuman. Senyuman yang jika siapa saja melihatnya akan langsung meleleh. Ia kembali duduk ketika Alena sudah hilang dari pandangannya. Lalu ia menyuruh ketiga temannya untuk kembali ke kelas.

       Dan kantin kembali ramai oleh teriakan para kaum hawa yang berhasil memoto sang objek.

●●●

Ale-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang