Jarum jam menunjukkan angka 12.25. Di siang bolong seperti ini, orang-orang yang duduk di tengah-tengah lapangan semakin ramai. Satu penampilan dari cheerleader menjadi pembuka untuk acara hari ini. Dua mimbar serta dua orang yang berada di belakangnya sejak tadi menampakkan wajah tegangnya.
Seorang laki-laki dengan rambut tertata rapi berdiri di belakang salah satu mimbar dengan wajah tegangnya. Semuanya tidak ada yang menyangka jika orang itu ternyata serius untuk mencapai level terakhir. Gadis dengan rambut digerai beserta kacamata berdiri di mimbar yang satunya.
Hari demi hari ia lalui dengan baik. Hingga tiba di mana hari yang menegangkan bagi warga Angkasa National. Hanya butuh waktu beberapa menit lagi untuk mengungkapkan semuanya.
Suara speaker dari seseorang yang memegang mic menggema diseluruh sudut sekolah, menyambutnya. Semua orang di lapangan bertepuk tangan riuh. Hiruk pikuk mewarnai latar suasana ini. Acara hari ini diikuti dengan banyak sekali penonton dibandingkan hari-hari kemarin. Semua wajah yang terlihat adalah senang, sebentar lagi mereka akan segera mengetahui pemimpin baru organisasi di sekolah mereka.
Di barisan sebelah kanan, setengah dari warga sekolah menyerukan namanya. Di barisan kiri, setengahnya lagi menyerukan nama lawannya. Dan mereka yang tidak memihak pada siapapun berada di barisan tengah. Mereka yang menjadi tim sukses dari ketiga calon yang gugur memilih untuk berpencar, walau ada juga yang netral.
"RAFI! RAFI! RAFI!"
"ALENA! ALENA! ALENA!"
Sedari tadi, pendukung kedua calon itu terus meneriaki nama jagoannya. Tentu saja mereka memilih jagoan mereka setelah menyaksikan acara debat-debat pada hari sebelumnya.
Aldo, yang menjadi calon nomor lima, sekarang sudah resmi menjadi bendahara. Agung, yang menjadi calon nomor empat juga resmi menjadi wakil sekretaris. Dan Lisa, tentu saja ia memimpin didepan Agung, menjadi sekretaris pertama. Untuk mengetahui pimpinan di atas mereka, sekaranglah waktunya untuk menentukan.
"MANA SUARANYA UNTUK RAFI! HUUUUUUU!"
"MANA SUARANYA UNTUK ALENA! HUUUUUUU!"
Dan pada jam ini, menit ini, dan detik ini juga. Hari menegangkan itu dimulai.
"Muka-mukanya pada tegang semua nih! Ah, nggak seru!" celetuk Ikhsan di atas sana. "Gimana kalo kita mulai dari teka-teki dulu? Biar nggak pada tegang begini."
"YEAYYYY!!!" Dinda, yang berada di samping Ikhsan bergirangan mendengar perkataan Ikhsan. Semua yang menonton bertepuk tangan riuh. Rupanya, mereka setuju atas usulan Ikhsan tersebut. Sebenarnya, itu bukanlah usulan, tapi itu sudah ia atur serapih mungkin sehari sebelum acara dilaksanakan, ia bisa mengetahui betapa tegangnya para pendukung dan juga calonnya. Oleh karena itu, ia merangkai acara dengan teka-teki terlebih dahulu.
Mata Alena memandang sekitar, ia melihat teman sekelasnya yang berada di barisan pendukungnya dengan membawa spanduk berukuran besar yang ada gambar dirinya. Kemudian ia menemukan sosok kakak kelas yang tidak asing lagi baginya, untuk saat ini. Kakak kelasnya itu duduk di barisan tengah, yang berarti netral. Kakak kelas itu mengingatkan Alena pada jaket yang belum sempat ia kembalikan. Teledor sekali dirinya. Disamping keteledorannya itu, kakak kelasnya yang satu ini memang susah untuk ditemukan. Tapi untung lah, kakak kelasnya itu tidak marah, bagaimana mau marah jika menagihnya saja tidak pernah? Alena berjanji pada dirinya sendiri, setelah acara hari ini selesai, ia harus mengembalikkan jaket itu kepada pemiliknya.
Saat matanya saling bertatapan, kakak kelas itu menatapnya balik. Tapi dengan tersenyum. Alena pikir, itu adalan senyum supaya dirinya tenang melaksanakan ketegangan hari ini. Tapi bagi orang lain, mungkin itu adalah senyum menghangatkan, yang bisa membuat hati perempuan luluh. Disamping kakak kelas itu, ketiga temannya sedang bercanda gurau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ale-na
Teen FictionDari yang ceria menjadi murung. Dari yang murah senyum menjadi datar. Dari yang paling berisik menjadi pendiam. Dari yang suka tertawa lepas menjadi tertawa di dalam hati. Dari yang suka melihat cowok-cowok ganteng menjadi cuek pada cowok-cowok gant...