8. Fadil

22 7 6
                                    

Seharusnya Alena mengikuti egonya untuk tidak pulang ke rumah. Terkadang, tidak semua hal harus diikuti dengan kata hati, tetapi harus menggunakan ego. Pertengkaran antar batin memang menyakitkan melebihi apapun. Jika pertengkaran antar mulut membuat air mata menetes, pertengkaran antar batin membuatmu sesak dan sakit di dada. Tidak bisa diungkapkan dengan apapun.

Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Tidak perlu disesali. Cukup dijadikan pelajaran dan motivasi untuk membuat hidup lebih baik lagi.

Trans Jakarta yang ditumpangi Alena berhenti karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Mata Alena memerah, menahan tangis yang membendung. Sesak di dada. Sakit di hati. Semuanya menyatu. Kata orang, keluarga adalah tempatnya berpulang. Tapi bagaimana jika tempatnya berpulang tidak seperti yang orang-orang katakan? Tempatnya berpulang yang seharusnya damai dan tentram, kembali ribut, hancur, dan berantakan. Bukan karena perceraian antar suami istri yang membawa pada kehancuran keluarga, tapi perceraian antara hubungan orangtua dengan anak. Bukankah itu hal yang lebih parah? Ikatan darah antara orangtua dan anak terputus, memilih jalannya masing-masing, dan mengalir di jalur yang berbeda.

Alena turun di halte, menaiki angkot, dan turun di sebuah mini cafe yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah neneknya. Meskipun mini cafe ini dekat dekat tempat tinggalnya, ia baru pertama kali berkunjung ke sini. Selain karena kesibukannya, ia juga tidak memiliki budget untuk nongkrong di tempat seperti ini. Baginya, menabung adalah hal yang utama, apalagi memiliki pengaruh besar di sekolah, sebagai ketua OSIS, akan mengeluarkan banyak sekali biaya untuk kegiatan-kegiatan yang akan diadakan.

Untuk pertama kalinya Alena berkunjung ke sini, memesan satu cangkir ice choco, dan duduk sendiri di pojok cafe. Tempat ini nyaman. Alena bisa menjadikan tempat ini untuk dirinya mengistirahatkan hati dan pikirannya dari kerasnya hidup.

Alena menarik napas panjang, dan menghembuskannya. Pikirannya berkelana pada peristiwa tadi siang ketika ia pulang ke rumah orangtuanya.

Alena datang dengan senyum merekah di wajahnya. Mengucapkan salam, dan disambut dengan pelukan hangat oleh mamanya.

"Gimana sekolah?" tanya Anggun. Alena diam sebentar. Bingung antara ingin menjawab atau tidak. Ini adalah kali pertama mamanya peduli pada sekolahnya. Ada sesuatu? Batin Alena. Nggak. Gue nggak boleh nethink. Mungkin mama emang udah berubah karena udah tinggal pisah sama anaknya.

"Alhamdulillah baik. Kemaren baru aja Ale terpilih jadi ketua OSIS." Akhirnya Alena menjawab dengan kebahagiaan yang membara.

Wajah Anggun kembali datar. Tapi tidak menampakkan kemarahan apapun. Alena menyadari raut wajah Anggun yang kembali datar.

"Aku kebelet pipis," Alena permisi.

Selesai dari kamar mandi, Alena bertemu dengan ayahnya. Alena sedikit memeluk ayahnya, menanyakan kabarnya. Kondisi ayahnya sedikit membaik. Hanya tinggal beberapa kali kemotherapy, kankernya akan menghilang, meskipun tidak hilang sempurna.

"Kok rapi banget? Mau ke mana?" tanya Alena.

"Mau ke rumah temen Ayah, kamu ikut aja," jawab Yusuf, ayah Alena.

Alena hanya mengangguk-angguk.

Butuh waktu 20 menit untuk semuanya siap. Alena masuk ke mobil di bagian tengah bersama adiknya. Di depan, ada ayah yang menyupir, dan mama yang mendampingi. Alena berharap, akan seperti itu seterusnya, mama mendampingi ayah, bagaimanapun kondisinya.

Alena hanya bisa tersenyum melihat keluarganya. Ayahnya dulu memang sering melawak, namun ketika sakit, jangankan untuk melawak, untuk berbicara pun susah. Tapi hari ini, untuk yang pertama kalinya Alena bisa melihat kembali senyuman di wajah ayahnya sejak sekian lama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ale-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang