6. Talking Book

97 26 21
                                    

Sebuah bingkai dengan foto keluarga tertengger di salah satu tembok besar itu. Jika dilihat dari foto tersebut, keluarga itu sangat harmonis. Baju yang mereka kenakan sama, hitam putih. Gadis kecil yang berada di pangkuan sang ayah terlihat sangat manis dengan rambutnya yang dikuncir dua. Seorang laki-laki yang masih berumur belasan tahun berada di samping ibunya. Senyum mereka semua sama. Semuanya terlihat cantik dan tampan.

Satu set meja belajar yang terbuat dari kayu jati berada di sudut ruangan. Di sampingnya, terdapat beberapa gitar dengan warna bervariasi. Di atasnya, terdapat mesin pendingin ruangan yang cukup untuk mendinginkan ruangan. Sebuah televisi besar dengan peralatan playstation lengkap tertata rapi di sudut lain. Lemari berwarna putih susu berada di sampingnya. Dan sebuah kasur berukuran king size berada di tengahnya.

Semuanya tidak ada yang berbeda. Barang-barang itu masih tetap pada tempatnya. Kecuali dengan satu hal, orang yang tidur di atas kasur itu bukanlah laki-laki. Tapi seorang gadis yang sedang terbaring pulas di atasnya.

Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Sinar matahari yang masuk membuat matanya ingin sekali melihat cahaya itu. Ia terbangun, dan duduk di tepi ranjang. Sudah hampir siang, dirinya harus bergegas untuk pergi ke acara talking book.

Pintu putih itu terbuka. Dan menampakkan sosok laki-laki yang hanya menggunakan celana boxer.

"AAAAAAAAAAAAAAA!" Dengan refleks, gadis itu berteriak dan langsung menutupi wajahnya dengan telapak tangannya.

"AAAAAAAA!" Dan dengan spontan, laki-laki itu menutup pintunya.

Terjadi keheningan selama beberapa saat. Sedetik kemudian, sang laki-laki menyadari sesuatu. Ia membuka kembali pintunya. Ia melihat Alena yang masih menutupi wajahnya dengan telapak tangannya.

"Lo... lo siapa? Kenapa lo ada di sini?" tanya Alena dengan jarinya yang ia buat sedikit lengang, supaya bisa melihat sosok laki-laki itu sedikit lebih jelas.

Ale terdiam di tempatnya. Bingung ingin menjawab apa. Ini kan rumahnya.

"Kenapa lo nggak pake baju? Lo nggak abis apa-apain gue, kan?!"

"Ini rumah gue, gue bebas mau ngelakuin apa aja. Mau nggak pake baju, nggak pake celana, atau telanjang, bebas," balas Ale dengan santai.

Alena bergidik. Ia baru menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya. "Lo nggak sentuh-sentuh gue kan?!"

"Astagfirullah," Ale mengusap wajahnya. "Lo liat pakaian lo, apa ada yang nggak lengkap?"

Alena melihat ke seragam sekolahnya. Masih lengkap. Tapi Alena tidak bisa percaya begitu saja. Bisa saja Ale memakaikannya kembali dengan rapi. Alena menggeleng, ia tidak boleh berpikiran seperti itu.

"Gue nggak percaya. Bisa aja lo pakein baju gue lagi," elaknya.

"Alena," panggil Ale dengan lembut. "Denger ya, gue nggak pernah sentuh lo. Apalagi untuk membuka satu kancing seragam lo. Lo cewek, dan gue cowok. Tapi bukan berarti gue bebas melakukan apa aja sama orang yang ada di rumah ini. Gue bukan tipe cowok brengsek yang suka mainin cewek. Justru, gue akan melindungi siapapun yang ada di rumah ini."

Alena kalah telak dibuatnya. Sepenuhnya ia memahami kata-kata itu. Dan sedikitnya ia masih tidak percaya.

"Mending lo makan. Pembantu gue udah bikinin bubur."

"Nggak. Gue mau pulang. Ada acara."

"Abis makan, gue anterin lo pulang."

"Nggak."

"Makan."

"Nggak!" ucapnya tetap pada pendirian. Alena mengambil tasnya yang berada di samping ranjang. Kemudian pergi melesat melewati Ale.

Ale-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang