4. Kepingan Masa Lalu

169 45 7
                                        

       "Lo utang cerita sama kita, Le."

       Ale mendongak dari kertas putih yang baru berisi sebaris itu. Ia menaikkan satu alisnya, lantas bertanya, "Cerita apaan?"

       "Tas adik kelas yang tiba-tiba ada sama lo," kata Maman. "Apa itu tas juga ada hubungannya sama lo dateng telat?"

       "Ohh," Ale mengerti maksudnya. Ia menceritakan semuanya. Dari mulai ia yang "sengaja" menyipratkan air genangan ke seragam adik kelasnya, sampai ia yang membantu adik kelasnya itu panjat pagar supaya tidak ketinggalan pelajaran.

       Awalnya Ale memang tidak tahu jika perempuan berseragam putih abu-abu yang sedang memarahi tukang ojek itu adalah Alena. Namun ketika dilihat dari samping dan laju motornya semakin dekat, ia mengenali bahwa sosok itu adalah Alena. Lalu ia dengan "sengaja" menyipratkan air genangan ke seragamnya dengan modus mengajak Alena berangkat sekolah bersama.

       Lalu Ale menceritakan kalau ia memang sengaja datang waktu istirahat supaya tidak ketahuan oleh guru, walau akhirnya tetap saja ia ketahuan juga oleh Pak Bambang. Telat adalah perkara yang biasa baginya. Tapi jika telat sampai jam istirahat? Itu terlalu berlebihan.

       "Ohhh." Ketiga temannya mengangguk.

       Setelah beberapa detik tidak mendapat respon apa-apa dari ketiga temannya, Ale bertanya, "Udah lunas kan utang gue?"

       "Iye."

       "Btw, yang namanya Alena Alena itu cakep juga," puji Didit. "Tapi sayang, sangar."

       "Dia orangnya nggak sangar-sangar amat kok," Maman membela.

       "Kenapa lo bisa ngomong gitu, Man?" tanya Afif. Ale tidak masuk ke dalam perbincangan. Ia hanya mendengarkan dengan saksama karena ingin mengetahui gadis itu lebih jauh lagi.

       "Gua kan dulu satu sekolahan sama dia. Semua sifat dan sikapnya juga semua orang di sekolah pada tau. Dulu kan dia ketua OSIS, dia terkenal. Semua sifat sama sikapnya itu baik-baik, dia ramah, murah senyum, tegas, bertanggung jawab, dan setau gua, dia nggak galak dan nggak cuek juga."

       "Tapi beberapa hari ini, gua liat tuh cewek nggak sama apa yang barusan lo bilang," bantah Afif masih tak yakin.

       "Jujur. Gua sebenernya juga bingung sama dia. Kenapa dia beda sama yang dulu gua kenal?" Maman bagai bertanya pada dirinya sendiri.

       Kenapa semua yang Maman bilang sama sekali nggak ada yang pas untuk Alena. Atau kenapa sifat gadis itu berubah? Apa alasan dia untuk merubah semuanya? Dan yang paling penting, kenapa dia se-"munafik" itu? Pikiran itu terus berkecamuk di benak Ale. Tapi, siapa dia? Nggak ada sangkut pautnya sama sekali sama gue. Lagian, gue juga baru kenal. Ale menggeleng dengan cepat. Membayangkan sibuknya ia mencari tahu siapa Alena yang sebenarnya. Ia tidak perlu repot-repot akan hal itu.

       “Lo kenapa, bro?” Ketiga temannya kebingungan melihat Ale yang tiba-tiba menggeleng sendiri. Kenapa Ale perlu repot-repot untuk memikirkan hal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya?

       “Kenapa apanya?” Ale bertanya balik.

       "Yeeeee, dasar orang,” celetuk Didit. "Kita nanya, lo malah nanya balik."

       “Yeeeee, setan!” balas Afif. Padahal Didit mengatai Ale, tapi yang membalas malah Afif. Entahlah, mungkin mereka lelah.

       “Ih anjir! Songong banget!” Didit sepertinya akan marah.

       “Lah kocak! Lo ngatain kita orang, berarti lo apa? Ayam?” Ayam atau chicken biasa digunakan untuk mengatai orang-orang lemah atau culun, fyi.

Ale-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang