Jilid 27

2.9K 46 0
                                    

Untung waktu itu adalah malam dan di tempat sepi hingga tiada orang yang melihat sikapnya yang aneh itu, kalau tidak, tentu orang akan menyangka dia sudah gila.

Hujan itu semakin deras, Toan Ki menanggalkan jubahnya untuk menutup badan Giok-yan. Tapi hanya sebentar saja baju kedua orang telah sama-sama basah kuyup lagi.

"Bagaimana keadaanmu, nona Ong?" kembali Toan Ki menanya.

"Ai, basah dan dingin, sebaiknya cari suatu tempat untuk berteduh," sahut Giok-yan.

Segala apa yang dikatakan Giok-yan itu bagi pendengaran Toan Ki adalah serupa titah sang ratu. Sekarang gadis itu minta dicarikan tempat meneduh, meski pemuda itu tahu keadaan masih berbahaya, setiap waktu dapat disusul musuh, tapi mau tak mau ia terus mengia. Tiba-tiba timbul pula semacam pikirannya yang ketolol-tololan, "Orang yang selalu terbayang-bayang dalam benak nona Ong hanya Buyung-kongcu seorang, maka terang tiada harapan selama hidupku untuk mempersunting si cantik. Hari ini aku sama-sama menghadapi bahaya dengan dia, biarlah aku berusaha sepenuh tenaga untuk melindunginya, bila akhirnya aku mati baginya, mungkin di kemudian hari pada masa tuanya secara kebetulan tentu dia akan terkenang juga kepada aku si Toan Ki. Kelak setelah dia menikah dengan Buyung Hok tentu akan punya putra-putri, dan bila mereka sedang bicara di antara anak-cucu sendiri atas kejadian-kejadian di masa lalu, mungkin juga ia akan teringat kepada kejadian hari ini. Tatkala mana ia sudah nenek-nenek yang ubanan, ketika bicara tentang 'Toan-kongcu', air matanya lantas bercucuran ...." — begitulah dalam melamunnya itu tanpa merasa matanya menjadi memberambang sendiri.

Melihat pemuda itu termangu-mangu sambil menengadah dan tidak lantas mencari tempat meneduh seperti permintaannya tadi, segera Giok-yan menanya, "Hei, kenapakah kau? Apakah susah diperoleh suatu tempat berteduh?"

"Tatkala itu engkau tentu akan berkata pada anakmu ...."

"Anakku apa katamu?" tegur Giok-yan dengan heran sebelum lanjut perkataan pemuda itu.

Keruan Toan Ki kaget dan sadar kembali dari lamunannya, cepat ia menyahut dengan tertawa ewa, "Ah, maaf, aku lagi melamun sendiri."

Segera ia celingukan kian kemari untuk mencari sesuatu tempat bernaung, tiba-tiba dilihatnya di arah timur laut sana ada sebuah rumah gilingan, air sungai kecil di samping rumah gilingan itu mengalir cepat hingga roda gilingan itu berputar terdorong oleh arus air, nyata gilingan itu sedang bekerja.

"Di sanalah kita dapat berteduh," ujar Toan Ki. Segera ia keprak kudanya ke arah sana, tidak lama, sampailah di depan rumah gilingan itu.

Segera Toan Ki melompat turun dari kuda, demi dilihatnya wajah Giok-yan pucat pasi, sungguh betapa rasa kasih sayangnya pemuda itu. Dengan khawatir ia menanya pula, "Nona Ong, apakah perutmu sakit? Atau barangkali kepalamu pusing? Badanmu panas?"

"Tidak, tidak apa-apa," sahut Giok-yan sambil menggeleng.

"Ai, entah racun apa yang digunakan orang Se He itu, kalau aku dapat memperoleh obat penawarnya, tentu segalanya akan beres," ujar Toan Ki.

"Eh, mengapa engkau tidak memayang aku turun, hujan begini derasnya?" tegur si gadis.

Dan baru Toan Ki ingat akan hal itu, dengan gugup ia menjawab, "Eh, ya, ya, aku menjadi linglung ini."

Giok-yan tersenyum, ia geli melihat kelakuan si pemuda yang memang mirip orang linglung itu.

Melihat senyuman manis si gadis yang menggiurkan itu, semangat Toan Ki seakan-akan kabur ke awangawang, hampir ia lupa apa yang harus dilakukannya. Segera ia membukakan dulu pintu rumah gilingan itu, habis itu, ia putar balik hendak menurunkan Giok-yan dari atas kuda. Tapi karena matanya tidak pernah meninggalkan wajah si gadis yang ayu itu, ia menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa di depan titian rumah gilingan itu ada sebuah selokan. Begitu ia melangkah kembali, sebelah kakinya tepat kejeblos ke dalam selokan.

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang