Ketakutan yang menjadi nyata

3.1K 132 3
                                    

Zahira meletakkan nampan yang berisi makanan untuknya dan Kalea. "Nih, makanan yang kamu pesen," ujar Zahira sambil memberikan segelas es teh dan sepiring nasi goreng untuk Kalea.

"Oke, makasih."

"Iya sama-sama."

Zahira mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Kalea.

Kantin untuk jam istirahat ke dua memang tidak bisa diandalkan ketika perut sedang lapar-laparnya karena begitu sesak. Selain antrian yang panjang, anak-anak juga belum tentu mendapatkan kursi yang kosong. Beruntung Zahira dan Kalea mendapatkan kursi dan tempat yang strategis.

"Tadi Bu Tika ngomong apa aja sama lo pas di perpus?" tanya Kalea di sela-sela kunyahannya. Entah mengapa, soal Virgo tadi saat membantu Zahira, ia sudah tidak terlalu mempermasalahkannya. Lagipula, itulah gunanya teman, saling tolong-menolong.

Zahira sendiri menelan hasil kunyahannya sebelum menjawab pertanyaan Kalea. "Disuruh ikut lomba cerpen nanti."

"Ohh...," Kalea mengangguk-angguk. "Kapan lombanya?"

Zahira mengedikkan bahu. "Enggak tau pasti. Tadi dikasih taunya cuma tentang persiapan aja."

Lagi-lagi, Kalea mengangguk-angguk menanggapi. Kemudian ia menggeserkan piring yang berisi nasi goreng yang tersisa setengah itu lagi karena ia merasa kalau apa yang dikunyah terakhirnya terasa hambar.

"Terus, kabar lomba kimianya gimana?" tanya Kalea tiba-tiba yang membuat Zahira tersedak karena kebetulan ia sedang proses menelan hasil kunyahannya. Dengan pengertian, Kalea buru-buru mengambilkan air mineral untuk Zahira. "Sori, sori."

Zahira mengambil tisu, "Iya-iya, kalem aja." Ia menerima air mineral yang diberi oleh Kalea, "makasih ya," katanya santai. Mengingat pertanyaan yang Kalea lontarkan tadi, ia pun menjawab, "Lomba kimia masih agak lama, kalo cerpen enggak ada seminggu lagi, kayaknya. Jadinya aku lebih mentingin cerpen dulu."

Kalea baru saja akan menjawab saat terdengar teriakkan yang begitu keras. Keduanya, Kalea dan Zahira pun menoleh, melihat apa yang terjadi di sana. Kira-kira, di sudut kantin. Di sana begitu ramai, bahkan Kalea maupun Zahira hanya bisa melihat orang-orang yang berkerumun, bukan objeknya langsung.

"Ya elah berantem tuh," celetuk Kalea seraya bangkit. Tanpa menunggu Zahira menjawab, ia bergegas ke sana, memecah kerumunan anak-anak.

Tanpa Kalea tahu sendiri, Zahira juga menyusulnya.

"Vir... Virgo?" Kalea sempat terdiam beberapa saat dengan mata yang membulat kaget, tetapi dihilangkannya rasa shok itu dan berusaha melerai, hampir saja ia terkena pukulan. "Virgo udah! Jangan berurusan sama Lionel!" perempuan itu sempat melirik orang-orang, masih saja berkerumun dan tidak ada yang berniat membantunya untuk meleraikan kedua orang yang sedang beradu. Mereka seperti menganggap perkelahian ini adalah tontonan gratis.

Gila apa?

"Eh! Udah, sih! Jangan berantem!" napas Kalea mulai terengah-engah. Emosi juga mulai memuncak,"Ngerti gue kalo kalian populer sampe orang-orang lebih milih ngeliatin daripada ngelerai!"

Dan tiba-tiba, seseorang membantu Kalea. Orang itu menyuruh Kalea untuk mundur. Kalea sendiri menurut karena ia juga sudah capai.

Dia, Zahira. Perempuan itu baru membantu Kalea karena sedari tadi terjebak di kerumunan orang yang semakin lama berjalannya waktu, semakin banyak.

Dari tempat Kalea berdiri, ia melihat kalau Zahira dengan mudahnya melerai mereka. Yang membuat dada Kalea sesak lagi adalah, ketika Zahira baru melontarkan beberapa kalimat, Virgo langsung diam, lalu memandang sahabatnya itu dengan antusias.

Lionel sendiri, awalnya bingung. Namun saat ia mengerti situasi, ia kembali menonjok Virgo lagi, dan anehnya Virgo memilih diam, tidak menanggapi pukulan Lionel lagi.

Napas Kalea seolah tercekat, Virgo bukannya mengurus Lionel, malah terus mendekat ke arah Zahira dan, "Zah, kenapa lo bisa buat gue seketagihan ini?"

Kalea terus memperhatikan. Kini orang-orang yang berkerumun semakin meriah karena Virgo yang terlalu gila.

Lo suka sahabat gue, Vir? Lo udah berpindah hati? Kenapa? Dan, secepet itu?

Tidak tahan lagi atas apa yang dilihatnya, Kalea langsung keluar dari kerumunan dan berlari. Entah ke mana asal hatinya bisa selamat. Sempat ia mendengar, "AWAS VIR!" tetapi Kalea sudah tidak peduli. Hatinya terlalu sakit untuk itu.

Ternyata langkah kakinya membawanya ke taman belakang sekolah. Dengan emosi yang sudah tidak terkendali, Kalea menonjok pohon yang berada di depannya. Tidak peduli rasa sakit yang akan ia rasakan di tangannya, karena sakit di hatinya lebih parah dari itu.

"Ternyata gitu, ya, rasanya, ketika orang yang gue suka malah suka sama sahabat gue sendiri. Selama ini yang gue takutkan, jadi nyata."

==========

Dilema SahabatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang