Hujan.

6.9K 115 11
                                    

Curhat dikit yeee... jadi waktu itu Banjarmasin lagi ujan deresss banget + angin serta petir yang bikin cenat – cenut (FYI, Aku takut petir, lagi nyetir saat itu, liat kilat nyambar kesana – kemari, maunya pengen nepi di pinggir jalan terus sembunyi dibawah jok aja), terus denger salah satu lagu lawas dan yaaa... eike baper :D so.. anggap aja aku curhat ama kalian, yah.. 50% fiksi, sisanya nyata :D


Rinai hujan basahi aku,
temani sepi yang mengendap.

Gadis itu bersin kesekian kalinya sambil menggosok bawah hidungnya. Hari ini hujan cukup deras membasahi bumi, dan sialnya ia lupa membawa payung ntuk kesekian kalinya, membuatnya telat pulang kerumah dan terpaksa bertahan di halte, bersesakkan dengan yang lain.

"Mau?" Ia spontan menoleh ketika seseorang mengulurkan balsem kearahnya, ia menggeleng dengan senyum sopan. "Makasih."

Mungkin pria itu tak pernah ditolak dalam hidupnya, atau terlalu kasihan melihat dirinya yang basah kuyup persis seperti kucing tercebur diselokan. "Aku gak ngasih obat bius, kok."

Ia menatap pria itu sekali lagi dengan kening berkerut, dalam hati ragu, namun ia butuh balsem itu untuk menghangatkan hidungnya yang kini siap untuk bersin lagi. alamat pilek, dah. "Beneran?"

"Masa aku bius kamu ditempat serame pasar kaget gini? Bisa – bisa pulang kerumah udah jadi mayat, ntar." Rupanya selera humor pria itu cukup bagus juga, karna ia sekarang tertawa pelan sambil sambil menerima uluran benda berbentuk pipih berwarna biru malam, memutar pelan tutupnya yang berwarna putih itu, lalu mencolek sedikit dan mengoleskannya ke sisi kiri dan kanan bawah hidungnya, sensasi hangat itu seketika membuatnya mendesah nikmat tanpa sadar.

Ia tak sadar bahwa tingkahnya sekarang memancing senyum simpul di wajah pria itu. "Aku Eris."

Ia tersenyum malu, lupa sepersekian detik lalu tentang pria yang disampingnya ini, dan membalas uluran tangannya dengan senyum lebar. "Amarylis."

Dia tak heran lagi melihat ekspresi Eris yang terlihat bingung bercampur geli. Namanya terlalu unik dan terkadang bikin jengkel karna susah dilafalkan. "Panggil saja Mary."

Senyum pria itu mampu membuat pipinya lebih merona dibandingkan hidungnya. Ia terpaksa bersenandung sembari pura – pura tertarik dengan derasnya hujan sekarang disertai angin kencang, sangat bersyukur dalam hati bahwa semua fenomena alam ini menyamarkan suara degup jantungnya yang menggila. "Kalau aku panggil Amarylis, boleh?"

˸Ë

Segalanya seperti mimpi,
ku jalani hidup sendiri.
Andai waktu berganti.

"Melamun terus."

"bosan gue nunggu ujan gak kelar – kelar daritadi."

Ray, saudara kembarnya meletakkan segelas coklat panas diatas meja kerjanya, lalu duduk disampingnya sembari menikmati semilir segarnya bau tanah basah serta dinginnya udara dengan segelas kopi hitam di tangan. "Nikmatin aja."

Dia manyun. Pria satu ini tak pernah tau bahwa hujan selalu menghadirkan kenangan manis disetiap tetesnya. Tentang pertemuan pertamanya dengan seorang pria pembawa balsem, yang berujung mengobrol berjam – jam saat itu hingga tak sadar bahwa hujan sudah teduh dan satu – persatu orang disekitar mereka mulai bubar, dan berakhir mereka berpisah karna beda jurusan bis kota dan saling melambaikan tangan pada saat itu. konyolnya, dia lupa mengembalikan balsem pria itu ­beserta nomor teleponnya.

Kumpulan Cerpen.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang