Yoel POV
Flashback.
"El, kamu masih ingat eyang Derry, sahabatnya opa?" tanya Mama sembari menuangkan air minum.
"Ingat, Ma. Ada apa?" jawabku tanpa memandang wajah Mama karena terlalu fokus menyantap makanan yang Mama buat. Aku rindu masakan di rumah.
"Begini, El. Papa sama Mama sudah sepakat memenuhi wasiat opa. Opa dulu pernah berpesan supaya menjodohkan kamu sama cucunya eyang Derry." Jelas Papa.
"Anaknya baik, kok. Mama suka. Kamu mau, ya!?" timpal Mama dengan nada berharap. Sebagai anak yang berbakti aku pantang menolak permintaan kedua orang tuaku. Terlebih lagi aku ingat usiaku yang sudah tidak muda lagi, hampir berkepala tiga. Kekasihpun aku tak punya. Jadi, apa salahnya dicoba. Aku mengangguk setuju.
"Mama punya fotonya?"
"Gak punya, sih. Tapi Papa bilang kerja di perusahaan kita, staff CS ya, Pa?" Jelas Mama balik bertanya pada Papa.
"Namanya?" tanyaku mulai penasaran.
"Jhoanna", balas Papa. Tanpa kusadari aku tersenyum sendiri.
Yes!!! Kena deh..
"Lho, kok senang?" tanya Mama mulai bingung melihat tingkahku.
"Kalau gadis itu Yoel tahu, Ma", balasku ceria membuatku semakin lahap.
Selama ini tak pernah terpikirkan olehku untuk menikah. Gadis yang sederhana memang tipe idealku. Tapi tak pernah aku bayangkan kalau gadis itu adalah Jhoanna, gadis sederhana yang menggemaskan, tanpa coretan pensil alis tentunya... Aku suka caranya melihatku. Tatapan matanya tajam seperti akan melahapku. Wajahnya manis, kulitnya putih bersih, dan lekukan tubuhnya cukup membuatku bergairah. Tapi bukan itu alasannya. Aku belum pernah bertemu gadis jutek seperti dia yang berhasil membuatku selalu ingin menggoda. Wajah lugunya itu, lho, jadi pengen ngajak nikah. Aku benar-benar ingin memilikinya...
-------
Author POV
Tak biasanya Jhoanna lesu. Jam menunjukkan saatnya makan siang, namun tak berhasil mendapatkan perhatiannya. Ia cukup lelah mengangkat dering telepon dari pelanggan-pelanggannya yang complain tentang produk perusahaannya. Ditambah lagi ia kembali teringat kejadian tempo hari.
"Bersiaplah. Aku sudah minta Mamaku memajukan hari pernikahan kita. 1 minggu lagi.."
Kata-kata itu kembali terngiang di telinganya. Jhoanna menggeleng kepala dengan mata terpejam, berhasil ia singkirkan ingatannya tentang pembicaraannya dengan calon suaminya itu.
Semuanya pasti berlalu, Jhoanna. Bisiknya dalam-dalam, meyakinkan dirinya tuk tetap tegar. Kini cacing-cacing di perutnya berhasil mencuri perhatiannya, mereka perlu nutrisi. Jhoanna beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kantin.
"Boleh gabung?", tanya Jhoanna lesu.
"Kamu kenapa, Jo? Sakit?", tanya Ratih, sahabat dekat sekaligus atasannya, dengan sendok mengambang di depan mulutnya. Joan menarik kursi di depan Ratih.
"Gak apa-apa, Tih. Cuma lagi pusing saja." balasnya lirih sembari duduk. Belum sempat ia menyodorkan sesuap nasi ke dalam mulutnya, sosok pria di pintu masuk kantin berhasil menjadi pusat perhatiannya. Joan langsung memalingkan wajahnya dengan panik sambil menutupnya dengan kedua tangan.
"Ada apa, Jo? Kamu liat siapa, sih?" tanya Ratih penuh tanya yang sedari tadi memperhatikan tingkah sahabatnya.
"Itu dia, Tih, orang yang bikin saya pusing. Di ambang pintu..." jawab Joan hampir berbisik sambil menunjuk ke arah pintu masuk.
"Siapa, sih? Gak ada siapa-siapa." balas Ratih sambil melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan.
"Selamat siang."
DEGG....
Jantung Joan hampir copot begitu melirik asal suara yang berada tepat di sampingnya. "Boleh saya duduk?" Joan kembali memalingkan wajah, lebih panik dari sebelumnya.
"Silahkan, Pak." jawab Ratih dengan penuh hormat dan senyum simpul yang sadar bahwa pria tampan di depannya itu adalah Mr. Ralph, atasannya. Pria itu pun menarik kursi di sebelah Joan dan meletakkan tubuhnya perlahan.
"Bapak mencari saya?" tanya Ratih bingung dengan kehadiran CEO di mejanya.
"Bukan. Saya cuma ada keperluan sebentar sama calon istri saya." kata Mr. Ralph hampir berbisik sambil mengedipkan mata genitnya ke arah Joan. "Bisa tinggalkan saya dan Jhoanna sebentar?" tambah Mr. Ralph.
Joan yang sedari tadi panik semakin gugup mendengar ucapan Mr. Ralph. Wajah Ratih semakin bingung. Ia menoleh ke sahabatnya yang sibuk memberi kode "jangan pergi" ke arahnya. Tapi apa daya, Ratih memilih patuh pada perintah atasannya itu.
"I.. Iya, Pak. Silahkan." Ratih beranjak dari tempat duduknya sambil membawa nampan, pindah ke meja lain. Dari kejauhan ia mengamati Joan dan Mr. Ralph.
"Mama sudah mengatur jadwal Pre-Wed kita. Pemotretannya lusa di Shanghai. Besok pagi kita berangkat", ujar Mr. Ralph dengan senyum khasnya. Joan yang sedang pura-pura acuh memalingkan wajah kagetnya.
"Pre-Wed? Besok?" tanyanya heboh dengan suara lantang, seolah-olah minta siaran ulang.
"Kamu mau saya ulangi lagi sampai orang seisi ruangan tahu?" bisik Mr. Ralph di kupingnya yang berhasil membuat Joan semakin gugup.
"Bukan begitu. Maksud saya..." Belum selesai Joan berkata-kata, buru-buru dipotong Mr. Ralph.
"Ini majalah sampel gaun lengkap dengan lokasi pemotretan. Silahkan kamu pilih yang kamu suka. Dan jangan lupa kemas barang-barangmu malam ini. Besok pukul 6 pagi saya jemput." jelas Mr. Ralph sambil menyerahkan majalah paket Pre-Wed.
Ia bangkit dari tempat duduknya dan berbisik di kuping Joan, "Sampai jumpa besok pagi, future Mrs. Ralph." Joan bergidik geli dengan wajah pucatnya sambil melihat calon suaminya itu melenggang pergi. Buru-buru Ratih berlari ke arah Joan, penasaran. Kembali ia menduduki kursinya tadi.
"Ada apa? Ada apa? Kamu punya hubungan apa sama Mr. Ralph?", tanya Ratih kepo sambil melirik majalah Pre-Wed di atas meja. Mata Ratih membesar melotot ke arah Joan
"Jangan-jangan.... Kamu WO-nya Mr. Ralph ya?" tunjuk Ratih asal terka. Joan memajukan tubuhnya ke arah Ratih dan berbisik...
"Aku calon istrinya Mr. Ralph."
"WWHHAAATTTT???????? Kok aku gak tahu", teriak Ratih heboh.
"Ssstttttt.... Jangan keras", balas Joan panik. "Aku gak mau orang di kantor pada tahu, nanti malah jadi bahan gosip. Ceritanya panjang. Nanti aku ceritakan setelah pulang dari Shanghai", timpalnya lesu.
"Ihh... Bikin penasaran. Jangan-jangan kamu jampe, ya?" tanya Ratih curiga.
"Enak saja. Semuanya murni karena perjodohan. Paham?" jelas Joan. "Sudah yuk, aku mau balik dulu. Aku mau siapin surat izin" timpal Joan mencoba mengakhiri perbincangan.
"Tapi makanannya....", ujar Ratih yang sadar bahwa makanan Joan hampir tak tersentuh ditinggal di meja makan. Joan tak mengubris perkataan sahabatnya itu sambil berjalan menuju pintu keluar kantin.
Sejak selesai makan siang Jhoanna sibuk mondar-mandir mengurus surat izin dan beberapa kerjaan yang sempat numpuk di mejanya. Ia sudah lupa sekarang pukul berapa, yang pastinya hanya ia yang tersisa di lantai 3.
Hah? Sudah pukul 6 petang. Ujarnya dalam hati begiru melirik jam di tangan kanannya. Buru-buru ia menyambar tasnya dan mengemas beberapa barang. Matanya mulai berkunang-kunang namun ia tetap meneruskan langkahnya menuju lift. Penglihatannya mulai gelap. Sampai akhirnya ia terjatuh di depan lift.
To be continue
YOU ARE READING
Ms. Dreamer Finding Love
RomanceYoel James Ralph POV "Masukkan tanganmu ke dalam saku celana saya." "WHAATTT???" Tanyanya kaget. "Saya bilang SE-KA-RANG!" Paksaku. "Ahh.... Hai, Na", ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah belakangku. Sontak aku menoleh kebelakang dan... BUUKKKK...