PROLOG

2.5K 107 2
                                    


(Diawali Cuplikan dari Chapter 6)

Aksa mengangguk tipis, lalu duduk di sisi ranjang Vella, menatap wajah Vella yang masih tampak pucat. Jika memang ini hanya kebohongan yang dikarang nya maka Vella benar-benar pemain watak yang sangat handal. Bahkan pemenang Oscar pun mungkin tidak akan bisa berakting sesempurna ini. Artinya hanya tinggal satu opsi terakhir yang mungkin, semua ini memang nyata dialaminya.

Tiba-tiba kesadaran itu menghantamnya. Pengalamannya berdinas selama bertahun-tahun sebagai polisi reskrim menjadikannya akrab dengan berbagai bentuk kejahatan jalanan, namun ia sekalipun belum pernah melihat pembunuhan yang dilakukan di depan matanya secara langsung. Terlebih pembunuhan yang diawali dengan penganiayaan berat.

Membayangkan seorang perempuan berkali-kali menyaksikan pembunuhan sadis semacam itu membuat Aksa gusar. Walaupun dari luar Vella tampak seperti perempuan yang mandiri dan berprinsip, namun ia pasti tetap memiliki sisi lembut dan rapuh dalam dirinya. Keinginan untuk melindungi Vella dari hal-hal keji tiba-tiba memenuhi benak Aksa.

Aksa menyentuh ringan jari-jari Vella, terasa hangat dan lembut dalam genggamannya. 

Suara Bi Esih menyadarkan Aksa dari lamunan, "Den, bibi bikin sarapan dulu ya di dapur, biar nanti kalau Neng Vella bangun bisa langsung makan. Kalau butuh apa-apa panggil aja, ya.."

"Saya bisa minta tolong bikinkan kopi, Bi?" Ia merasa tubuhnya mulai letih, pasokan kafein akan memicu adrenalinnya kembali

"Iya, Den. Bibi buatkan sebentar ya.." Bi Esih beranjak keluar dari kamar

Aksa mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, sentuhan pribadi Vella sangat kental terasa didalamnya dengan nuansa feminim yang mendominasi. Foto, Hiasan dan pernak pernik khas perempuan berjajar rapi, namun anehnya suasana kamar ini membuat Aksa merasa hangat dan nyaman. Berbeda dengan kamarnya sendiri yang walaupun berukuran jauh lebih besar tapi terasa kosong dan dingin bagaikan cangkang tanpa nyawa.

Lalu dilihatnya pintu kamar mandi di ujung kamar, membasuh wajah dengan air dingin mungkin akan membantu matanya bertahan dari serangan kantuk, batin Aksa. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya dari Vella, namun jari Vella menahannya. Aksa menoleh untuk melihat wajah Vella, masih tetap terpejam. Ia menyadari kali ini gantian Vella yang menggenggam erat jarinya, seolah mencari pegangan untuk bertahan.

***

PROLOG

Suasana hening yang menegangkan selalu terasa tiap kali Vella memasuki ruangan ini. Hanya  suara mesin ventilator yang terhubung dengan bed side monitor yang mendominasi, diselingi suara langkah kaki pelan saat pembesuk bergantian membesuk pasien di bed lain. Sesekali terdengar suara isak tangis menambah suasana semakin terasa tidak nyaman. Dalam kepalanya terbersit pemikiran betapa kuatnya mental para dokter dan perawat ini menghabiskan sebagian besar waktunya dilingkupi aura tidak mengenakan semacam ini, padahal ia saja yang baru wara wiri 3 hari diruangan ini, itupun dengan jangka waktu yang tak lebih dari 2 jam dalam sekali kunjungan, sudah merasakan perasaan tidak nyaman. Seperti kesedihan yang terasa mencekam, susah untuk mendeskripsikan dengan tepat, batinnya.

Tatapannya jatuh pada sosok terbalut selimut dihadapannya, segala macam alat bantu medis terhubung ke tubuh rentanya, sementara matanya masih saja terpejam sama seperti 2 hari lalu saat Vella membawanya ke rumah sakit ini dan langsung dirujuk ke ruang ICU. Vella menggenggam erat tangan Oma, satu tangannya mengusapnya halus merasakan keriput- keriput yang makin tampak seiring dengan berat badan Oma yang semakin menyusut.

"Oma... Vella sudah datang menjenguk lagi, pagi ini Vella bawakan tabloid favorit Oma lho.. Vella bacain ya, Oma?"  ia memaksakan suaranya agar terdengar ceria walaupun ia sadar mungkin Oma tidak mendengar apapun yang ia katakan. Namun, ia ingin Oma tahu bahwa ia baik-baik saja dan tidak khawatir akan keadaanya saat terbangun nanti.

GiftedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang