Chapter 5

965 76 5
                                    



Kali ini ketika Vella sampai, Aksa, Angga dan Pak Burhan telah berada di ruangan yang sama seperti kemarin. Sejak menerima telepon Aksa siang tadi, Vella tidak bisa fokus pada apapun yang dikerjakannya. Hatinya berdesir tiap kali teringat akan bertemu lagi dengan Aksa. Padahal baru sekali ia bertemu Aksa, tapi mengapa jantungnya seolah mengkhianati logika pemikirannya.

Sepanjang 24 tahun hidupnya memang pengalamannya dekat dengan lelaki bisa dihitung jari, padahal lelaki yang mendekatinya dari mulai ia SMA, kuliah sampai saat ini tidak bisa dibilang sedikit. Vella hanya ingin membahagiakan Oma sebelum membahagiakan dirinya sendiri sehingga lebih banyak menenggelamkan dirinya pada pelajaran, lalu sekarang pada pekerjaan.

Vella mengetuk pintu dan memasuki ruangan tersebut sambil tersenyum pada orang-orang didalamnya, tak terkecuali Aksa. Aksa membalasnya dengan anggukan kecil, lalu mempersilakan nya duduk. Tatapan dan raut wajahnya masih dingin, tak terbaca seperti kemarin.

"Identitas korban sudah diketahui. Bu Marshavella sudah dengar di berita?" Aksa membuka percakapan

Oke, sekarang kita kembali ke Bu-Marshavella-dan-Pak-Adhyaksa batin Vella.

Vella menggelengkan kepalanya, "Saya belum sempat lihat berita, Pak Adhyaksa. Syukurlah kalau sudah diketahui, saya membayangkan keluarganya pasti kebingungan mencarinya, terutama anak laki-lakinya " jawab Vella

Seketika semua di ruangan itu serentak menatapnya, Aksa menegakkan posisi duduknya dan menatapnya tajam "Darimana Bu Marshavella tau kalau korban punya anak laki-laki? Bukankah katanya anda tidak mengenal korban?" Cecar Aksa

"Saya tau karena dalam mimpi saya, saat terakhir sebelum ia meninggal ia memikirkan anak laki-lakinya. Seperti saya bilang, saya bisa merasakan emosinya dan pikirannya tertuju kepada anak laki-lakinya. Apa saya belum ceritakan kemarin?" Jelas Vella

"Kemarin Mba Vella gak nyinggung apa-apa tentang anak laki-laki, iya kan Pak Burhan?" Kali ini Angga yang berbicara, dibalas anggukan oleh Pak Burhan.

"Mohon maaf, berarti saya lupa. Yang pasti saya bisa merasakan emosi dan pikirannya. Saya sudah coba ceritakan semampu saya apa yang saya ingat dari mimpi itu" Vella mencoba membela diri

"Jadi selain bisa berjalan dalam mimpi Bu Marshavella juga bisa membaca pikiran, begitu? " Aksa bertanya kembali, nada sinis nya tidak dapat disembunyikan

"Saya tidak berjalan dalam mimpi Pak Adhyaksa yang terhormat, saya hanya merasakan emosi dan pikiran. Bukan seperti adegan film dimana saya bisa menyaksikan dengan jelas, tapi seperti antena radio yang menangkap pemancar. Ketika frekuensinya tepat dan sinyalnya kuat saya bisa merasakannya dengan jelas. Tapi saat lemah yang saya tangkap juga menjadi kabur" Vella mencoba menjelaskan walaupun ia merasa ini sangat absurd jika harus dijabarkan dengan kata-kata

"Dan yang pasti saya bukan cenayang, paranormal apalagi dukun. Saya tidak bisa meramalkan masa depan dan please jangan tanya saya nomor togel!" Lanjut Vella sambil tersenyum berusaha mencairkan suasana saat dilihatnya wajah-wajah tegang sekaligus bingung di depannya.

"Kalau tanya nomor telepon boleh dooong..." Sahut Angga menanggapi candaanya

Yang lainnya ikut tertawa kecuali Aksa. Raut wajahnya masih tampak keras dan tegang, tatapan matanya seakan menyimpan seribu pertanyaan. Ia mengusap-usap dagunya yang mulai ditumbuhi jenggot tipis lalu berkata "Kalau memang benar Bu Marshavella bisa membaca pikiran, coba katakan apa yang Pak Burhan pikirkan sekarang" tantangnya

Vella menoleh ke arah Pak Burhan, lalu ia tersenyum "Yang pasti saat ini semuanya sedang berpikir apakah yang saya ceritakan tadi benar atau bohong" Vella berhenti sejenak lalu melanjutkan ucapannya " Hmmm.. Pak Burhan dari tadi berpikir apakah interogasi ini akan berlangsung lama, Pak Adhyaksa. Pak Burhan ingin segera pulang, ia kangen istri dan anak-anaknya, terutama anak laki-lakinya yang baru lahir. Mmm.. Anak ke tiga ya, Pak?" Tanya Vella menatap Pak Burhan lembut

GiftedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang