Chapter 8

1.2K 80 4
                                    

Aksa menyeret tubuhnya melangkah gontai menuju mobil di parkiran rumah sakit. Di sisinya Pranggana berjalan mengikuti, mensejajarkan dengan langkah yang sama-sama tanpa semangat. Pemandangan di ruang otopsi tadi terlalu memilukan. Bahkan dengan pengalaman berdinasnya sebagai polisi selama 10 tahun dimana 8 tahun terakhir dihabiskan di bagian kriminal menangani kasus yang beraneka ragam tetap saja ia tidak terbiasa melihat jenazah korban pembunuhan. Tidak akan ada manusia normal yang dapat terbiasa, terlebih dengan kondisi jenazah yang telah di mutilasi seperti tadi.

Para wartawan segera bergerak begitu melihatnya, seperti lalat yang mencium aroma amis. Aksa mengeraskan rahangnya, memasang ekspresi tidak-ingin-diganggu dan terus melangkah tanpa menghiraukan pertanyaan wartawan yang mengerubunginya. Saat ini bukan kondisi terbaiknya untuk menghadapi para pemburu berita. Di dengarnya Angga mengumumkan pada wartawan bahwa detailnya akan dijelaskan oleh bagian humas Polres, dalam hati Aksa berterima kasih pada Angga, memberi nilai tambah atas kesigapannya.

Beribu pikiran terlintas dalam benak Aksa saat perjalanan ke Polres, sesampainya di kantor ia harus menghadap Kapolres untuk menjelaskan kasus pembunuhan ini. Kasus mutilasi biasanya menjadi kasus yang populer, sorotan publik menjadikannya dua kali lebih berat karena Aksa dan tim nya pasti dipaksa untuk bekerja lebih cepat. Aksa memejamkan mata, menyisirkan jari di rambutnya dengan frustrasi. Bagaimana ia menjelaskan kepada Kapolres bahwa kedua pembunuhan ini berkaitan dan saksi utama yang dimilikinya melihatnya melalui mimpi, mungkin Kapolres akan bereaksi sama seperti Aksa tempo hari, tertawa dan menolak mempercayainya mentah-mentah.

"Bang, Abang kok bisa tahu kalau ada mayat di TPA Margawangi?" Pertanyaan Angga membuyarkan pikiran Aksa

"Vella" Jawab Aksa pendek, membuat Angga menolehkan pandangan dari jalanan di depannya

"Nyetir yang bener, Ngga... mobil ini asuransinya gak All risk" Aksa menegurnya

"Siap, Bang. Vella mimpi lagi, Bang?" Angga kembali fokus menyetir

"Jam 3 pagi dia telepon, katanya ada pembunuhan lagi dengan pelaku yang sama belum sempat abang tanya-tanya dia pingsan di telepon. Abang samperin ke rumahnya, waktu sadar dia bilang pelaku motong mayatnya dan di masukin ke dalam koper hitam terus di buang di TPA. Abang pikir dipotong gimana, ternyata di mutilasi. Dan parahnya dia ngeliat semua walau dalam mimpi... Ya Tuhan..." tanpa sadar Aksa mengutarakan kegusarannya membuat Angga bergidik saat mengingat pemandangan jenazah itu.

"Kemarin waktu saya periksa saksi pembunuhan yang pertama mereka bilang korban Emma ini memang dulunya PSK. Tapi sudah 6 bulan terakhir dia berhenti dan kerja di salon. Bos nya di Salon hari ini rencananya diperiksa, Bang. Saksi bilang terakhir lihat korban pulang bareng bos nya. Semoga ada titik terang ya, Bang." Angga melaporkan perkembangan kasus

"Biar Abang ikut periksa Ade asuh, jam berapa rencananya?"

"Jam 9 malam, Bang. Dia minta jam segitu, katanya setelah salon nya tutup baru bisa datang ke kantor"

"hmm.. jam 9 ya, semoga keburu Abang balik ke kantor ya"

"Emang Abang ada rencana kemana jam segitu, Bang?" Angga bertanya, kepo

"Janji antar Vella pulang, Ade asuh" Aksa menjawab tenang, membuat Angga menyunggingkan senyum penuh arti

"Soalnya tadi pagi dia sekalian Abang antar ke kantor, kasian kalau pulangnya harus naik taksi" Aksa buru-buru menjelaskan.

Angga hanya terdiam, tidak memberikan komentar atau reaksi apapun membuat Aksa kembali bersuara, berusaha mengalihkan pembicaraan "Bro, lo tau Summa Cum Laude apaan gak?"

GiftedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang