6 Bulan kemudian...
Hari itu hujan deras mengguyur kota seakan tanpa lelah meneteskan air ke muka bumi, diiringi kilatan cahaya petir yang disambung dengan suara gemuruh guntur menggelegar menegaskan kekuatan alam pada setiap mahluk hidup yang menyaksikannya.
Dua orang anak kecil berpelukan sambil memejamkan mata dengan erat setiap kali kilatan petir tampak seolah siap menyambar siapa saja yang berani menantangnya. Sang kakak yang masih berumur 10 tahun mencoba menenangkan adiknya walaupun sebenarnya hatinya ciut tiap kali suara guntur terdengar memekakkan telinga dan menggetarkan papan rumah mereka, jika ruangan 4 x 5 yang kusam itu pantas disebut rumah.
Sembari mengelus cepat punggung sang adik, ia berpikir akan lari kemana jika hujan semakin besar dan rumah ini runtuh. Ahirnya, dalam keterbatasan pemikiran bocah 10 tahun ia mengajak adiknya untuk duduk di teras rumah yang beratapkan triplek seadanya, mencari celah dimana tidak ada bocor besar sehingga mereka berdua bisa berteduh dibawahnya.
Jika rumah reot ini sampai roboh maka kami dapat langsung lari ke rumah sebelah, begitu pikirnya. Sambil menutupi badan dengan sarung milik emaknya mereka duduk bersisian memandang ke arah sungai besar yang mengalir cepat menghanyutkan berbagai benda dalam aliran kecoklatan yang pekat.
Sang kakak sedang larut dalam pikirannya apa yang akan emak bawakan untuk makan malam mereka nanti, dan apakah ia harus membersihkan beras dari kutu dan gabah untuk dimasak, emak mereka pasti kelelahan bila pulang dan masih harus membersihkan beras lalu memasak nasi untuk mereka.
Tiba – tiba adiknya berseru "Kak, itu apa ya yang nyangkut di dahan pohon?" telunjuk sang adik terangkat mengarah pada satu titik di aliran sungai dihadapan mereka.
Sang kakak beranjak maju dari posisi duduknya sambil memicingkan mata kearah sungai yang ditunjuk adiknya, mencoba melihat lebih jelas. Rupanya hujan telah mereda menyisakan tetesan – tetesan kecil dan arus sungai mulai mengalir tenang seperti biasanya. Tampak serabut panjang hitam serupa rambut tersangkut pada dahan tersebut.
Sang kakak tersentak, walaupun emak selalu melarangnya untuk mendekati tepian sungai tapi rasa penasaran mengalahkannya dan ia berjalan mendekati tepian sungai, menutupi kepala mereka berdua dengan sarung untuk melihat lebih jelas. Sang adik mengekor dibelakangnya, memegang erat rok kumal sang kakak.
Saat mereka sampai di tepian sungai, sebatang pohon pisang besar yang rupanya tumbang terkena amukan badai hanyut di aliran sungai dan menabrak benda mencurigakan tersebut. Muncul sosok tubuh keputihan diikuti sepasang kaki yang telah membengkak bagai balon, sontak mereka berdua menjerit sembari berlari ke arah rumah tetangga terdekat.
***
Aksa terduduk lelah di ruangannya, matanya terarah pada layar tv 32" dihadapannya yang menayangkan berita, namun pikirannya melayang entah kemana. Hari ini genap 1 tahun ia menduduki jabatan kepala satuan kriminal di Polres ini.
Dalam setahun terakhir waktunya lebih banyak ia habiskan di ruangan ini dibandingkan di apartment tempat tinggalnya apalagi di rumah orang tuanya. Walaupun tinggal di kota yang sama, Mobilitasnya yang tinggi dan tuntutan pekerjaan dengan kasus yang seakan tiada habisnya mengharuskan ia selalu stand by dekat dengan kantornya, sehingga ia memutuskan untuk membeli satu unit apartemen yang dekat dengan Polres tempat kerjanya.
Keputusan yang belakangan ia sesali karena ahirnya apartemen itu hanya menjadi tempat persinggahan sesaat, bahkan ahir pekan pun ia lebih memilih untuk bekerja di kantor.
Ruangannya memang dilengkapi dengan kamar mandi dan tempat tidur kecil dibalik rak buku tertutup sehingga tidak terlihat dari luar. Tampaknya pejabat – pejabat sebelumnya telah mengantisipasi kesibukan sebagai kasat reskrim di polres ini sehingga membuat ruangan ini menjadi rumah kedua mereka. Rumah pertama, bagi Aksa.
Namun toh tidak sia – sia ia curahkan tenaga dan pikirannya kepada pekerjaanya, prestasinya mulai terdengar, namanya sudah diakui sebagai salah satu kasat reskrim terbaik. Pengungkapan kasus – kasus lama milik para pendahulunya satu persatu diselesaikannya. Tetapi, tetap volume pekerjaanya semakin bertambah, kejahatan dan kriminalitas nampaknya memang memiliki trend positif dari tahun ke tahun.
Ponselnya bergetar menandakan notifikasi masuk, dengan cepat matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja. Pesan di grup chat nya, salah satu anggotanya mengabarkan adanya penemuan mayat yang hanyut di sungai. Bisa jadi ini karena terjatuh ke sungai, otaknya berpikir cepat. Ia meraih ponselnya, mengetikkan beberapa nama anggota untuk berangkat ke TKP bersamanya.
***
Lokasi di tepi sungai itu sudah dipadati warga ketika tim kepolisian datang, rupanya beberapa orang warga berinisiatif untuk mengangkat mayat tersebut dari sungai tanpa menunggu polisi. Aksa tersenyum sinis, tindakan yang pasti akan mereka sesali nanti karena bau tidak sedap dari jenazah, apalagi yang terendam air, akan terus tertanam dalam otak mereka mungkin sampai berminggu – minggu kemudian.
Pengalaman yang dialaminya saat masih menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian, saat itu terjadi musibah banjir bandang dan semua taruna satu angkatannya dikirim ke lokasi bencana sebagai sukarelawan. Ia ingat ketika menemukan jenazah yang terbenam lumpur, bersama 5 orang temannya mereka mengevakuasi jenazah tersebut. Bau busuk masih tetap tercium menebus masker yang mereka kenakan, Aksa kehilangan nafsu makan sampai berhari – hari setelahnya.
Tim forensik segera memasukkan mayat tersebut ke dalam pembungkus khusus berwarna kuning terang, sementara anggotanya yang lain sedang menanyai dua anak kecil yang nampak shock di sudut salah satu rumah warga. Ia mendekati seorang pria yang dari tadi nampak sibuk memberikan komando untuk menaikkan mayat dari sungai. Matanya memindai, otaknya menilai dengan cepat. Hal yang menjadi kebiasaanya sejak menjadi polisi bagian kriminal.
"Bapak Ketua RW disini?" tanya Aksa sambil mengulurkan tangan
"Iya Mas. Saya yang barusan nyuruh anak – anak muda itu naikin mayatnya kesini. " Jawabnya bangga sambil menyalami Aksa
"Bapak kenal dengan mayat tadi? Warga sini bukan Pak?"
"Situ apanya ya? Saya Cuma mau bicara sama pemimpinnya. Biar gak diulang – ulang. Nanti saya jelasin sama situ eh nanti atasan situ dateng nanya – nanya saya lagi. Saya ini orang sibuk" jawab bapak tadi sambil membakar rokoknya.
Aksa mengeraskan rahangnya, untung hari ini mood nya lagi bagus, ia hanya menjawab singkat "Saya AKP Adhyaksa, Pak. Kasat Reskrim"
"Oh maaf Mas, eh Pak. Saya kirain polisi baru, soalnya masih muda. He he... Kalau gitu kita ngobrolnya di rumah saya aja Pak, biar enakan." mendadak bapak tadi jadi ramah
"Gak usah, disini aja Pak. Saya buru-buru. Kembali ke pertanyaan tadi, korban warga sini Pak?"
"Saya tadi gak liat mukanya jelas sih, soalnya hancur. Jadi saya suruh anak – anak yang barusan ngangkat buat tengkurepin tuh mayat" jawabnya sambil bergidik
Lhaaaa belagak sombong padahal dia juga gak lihat, dalam hati Aksa memaki , "Oke Pak, nanti biar anggota saya catat nama dan nomor telpon Bapak. Terima kasih."
Malas berinteraksi lebih lama dengan bapak tadi Aksa melangkahkan kakinya ke arah anggota yang telah selesai menanyai anak-anak tadi.
"Gimana Mas Andri, ada petunjuk?" tanyanya
"Siap, belum ada Ndan, mereka yang pertama kali lihat tapi kliatannya perempuan itu hanyut di sungai yang alirannya deras karena hujan besar barusan, Ndan."
"Ya udah kita balik ke kantor. Tunggu hasil dari forensik. Segera sebarkan nomor pengaduan 24 jam ke warga sekitar, biar identitasnya bisa kita ketahui lebih cepat." Perintah Aksa
"Siap, Ndan" jawab Andri tegas.
∞
KAMU SEDANG MEMBACA
Gifted
RomanceAdhyaksa, Mendedikasikan hidupnya sebagai Polisi, hasilnya pada usia yang terbilang muda ia telah sukses menjadi Kepala Satuan Reserse dan Kriminal. Sering bersinggungan dengan kejahatan membuatnya sinis dan skeptis, terlebih jika menyangkut cinta d...