Prolog

96.5K 1.5K 56
                                    

Kesibukan dalam kamar nomor 324 di hotel Grand Paradise itu terdengar abnormal. Suara bentakan, tangisan, dan helaan nafas  terdengar berkali-kali dari dalam sana. Sementara di lorong panjang hotel, seorang pemuda, tinggi, tampan, berusia sekitar pertengahan dua puluhan mempercepat langkahnya dengan tidak sabar. Beberapa orang yang berjaga di pintu dan melihat kehadirannya menunduk hormat.

“Tuan…” Sapa orang itu dengan ekspresi wajah yang tidak dapat digambarkan.

“Bagaimana Papa?” pemuda itu bertanya dengan suara datar. Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya perlahan. Merasa tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan si pemuda menyibak kumpulan orang-orang dan masuk ke dalam kamar.

Seorang pria, botak dan gendut yang sejak tadi terus-terusan berteriak kalap pada seorang anak perempuan tidak melanjutkan makian panjangnya saat melihat pemuda yang baru datang itu masuk. “T-tuan muda… Tuan besar…” si gendut tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Dia yang garang menoleh ke arah tempat tidur king size, di mana terbaring tubuh kaku seorang pria yang—dipastikan—sudah menjadi mayat.

Si gendut langsung meraung dengan cara yang sungguh tidak memperlihatkan rasa duka yang tulus. Sementara pemuda tampan itu hanya menatap dingin pada jasad ayahnya. Satu-satunya reaksinya hanyalah kerutan pada bagian diantara kedua alisnya yang tebal.

“Urus segera semuanya.” Dia memberi perintah datar pada si gendut yang kini sibuk menghapus air mata dengan ujung jas hitam yang ia kenakan. “Tutup mulut semua orang yang menjadi saksi insiden ini.” Lagi-lagi si pemuda memberi perintah dengan tegas, dingin dan datar. “Aku akan mengatakan pada pers kalau Papa meninggal dengan tenang karena serangan jantung.” Semua orang yang ada di sana terdiam dan menunduk dengan patuh. “Jangan sampai orang lain tahu yang sebenarnya, atau kalian semua akan mendapat hukuman.” Keputusannya adalah final dan tidak terbantahkan, semua orang tahu itu. Felisio Archiebalt Danindra adalah penjelmaan dari hukum rimba dalam dunia nyata. Apa yang dia katakan akan benar-benar dilakukannya dan siapapun yang menjadi penentangnya bisa dipastikan tidak akan bisa buang air besar dengan tenang seumur hidup.

“Lalu…” si gendut menyela pelan, terkesiap saat tatapan dingin Tuan mudanya teralih padanya. “B-bagaimana dengan gadis itu, Tuan?” jari telunjuk si gendut yang besarnya sama seperti jempol kaki orang nomal terarah pada seorang gadis yang meringkuk di susut ruangan sambil terisak-isak.

Satu kali lagi Felisio mengernyit. “Siapa dia?”

“Entahlah Tuan, sejak kami datang disini dia sudah ada bersama Tuan besar, dia yang berteriak memanggil petugas hotel saat Tuan Besar mulai sesak nafas.”

Gadis kecil yang dibicarakan menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya untuk meredam suara tangis ketakutannya, dia semakin takut karena sejak tadi tidak ada satupun dari lelaki di dalam ruangan ini yang memperlakukannya dengan baik. Semua menakutkan baginya. Apalagi lelaki terakhir yang baru saja datang. Aura kekuasaan, kekejaman dan intimidasi dari diri orang itu dengan jelas memancar dan menakutkan.

“Dia cewek panggilan?” Pertanyaan itu mengesampingkan rasa takut si gadis kecil, mendengar pertanyaan itu dia segera mengangkat wajahnya, menatap langsung pada si pemuda yang kebetulan juga tengah menatap kepadanya. Memperlihatkan matanya yang basah, pancaran ketakutan dan rasa terkejut yang teramat sangat atas pertanyaan si pemuda. Dan semuanya tersampaikan secara langsung ke dalam manik mata dingin Felisio. Pemuda itu menahan nafas saat menemukan kemurnian dalam pandangan yang disampaikan si gadis kecil. Seakan bertanya bagian mana dari dirinya yang terlihat tidak diliputi kemurnian? Bagian mana, dari dirinya yang terlihat murahan seperti wanita nakal?

Tatapan yang sama juga terasa familiar untuknya. Kerinduan mendadak menelusup lembut dalam jantung Felisio Danindra, membuatnya segera memalingkan wajah ke arah si gendut. “Kau urus Papa.” Perintahnya dingin, “gadis itu biar aku yang urus…”

Si gendut mengangguk paham. Dia memberi perintah pada dua orang pemuda disampingnya untuk membawa gadis itu pergi. Di luar dugaan ternyata gadis itu tidak memberontak. Dia menerima uluran tangan para pengawal Felisio Danindra yang membimbingnya untuk berdiri dan melangkah mengiringi kepergian pemuda yang memimpin langkahnya.

………

   

My Lovely LoliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang