5. Dejavu

26.8K 1K 47
                                    

“Minum,” Felisio menyodorkan sebotol air mineral dingin yang diambilnya dari kulkas kecil yang menyatu dengan lemari buku. Nikita menerima botol itu dengan kepala menunduk. Matanya merah, demikian pula dengan hidungnya. Saat matanya menumbuk jejak basah di kemeja yang Felisio kenakan Nikita langsung merasa malu.

            “Baju kakak basah,” ungkapnya pelan.

            Felis tersenyum sekilas, “Akan aku ganti nanti.”

            “Maafin Niki.”

            “Bagiku bukan masalah, Nikita.”

            Nikita tidak mengatakan apapun lagi. lebih memilih untuk membuka botol air yang ditangannya. “Niki nggak pernah tahu siapa Mama juga Papa Niki.” Usai melegakan tenggorokannya dengan air Nikita kembali bicara. “Enyak nggak pernah mau kasih tau.”

            “Mungkin karena dia tidak ingin kau terluka oleh kenyataan. Setidaknya sampai kau cukup umur untuk menerimanya.”

            Nikita mengangguk setuju. “Enyak sangat sayang sama Niki.”

            “Semua orang yang mengenalmu akan menyayangimu, Nikita.”

            Mendengar kata-kata itu, dengan berani—sangat diluar kebiasaan—Nikita mengangkat wajahnya dan balas menatap langsung ke manik mata kelam Felis. Membuat pemuda itu menahan nafas dalam resah yang mendadak menyerang. Felis selalu merasa terbakar dari dalam tiap kali bening mata bocah itu menatapnya. Untung saja itu tidak sering, kebanyakan Nikita lebih suka menekuk leher dan menghindar untuk menatapnya.

            “Bagaimana dengan Kakak?” itu sama sekali bukan pertanyaan penuh desakan, tapi bagi Felis pertanyaan itu sama saja dengan todongan pedang yang di arahkan kelehernya.

Bocah kecil itu menuntut janji dan pengakuan darinya. Sesuatu yang sebenarnya adalah kemustahilan mengingat betapa keji susunan rencana yang telah ia atur untuk gadis yang sama.

            “Kau sepupuku,” Felis masih berusaha mengelak. Tapi Nikita tetap menunggunya memberi apa yang ingin gadis itu dengar. “Aku akan menyayangimu seperti aku menyayangi Delis dan Andro.” Felis tahu bukan dirinya yang mengatakan itu, tapi kalimat itu terpatri jelas dalam benaknya melampaui janji manapan yang pernah ia buat. Dan ia menyadari satu hal—kelemahan yang kembali muncu, tentang bagaimana dulu ia tak pernah bisa menolak apapun yang dipinta oleh Utari—sekarang Nikita memiliki pengaruh yang sama besar seperti yang dimiliki Utari padanya. Menyadari itu rasanya ia ingin tertawa keras-keras. “Tentu saja.” Sambungnya, lebih menyerupai ejekan pada diri sendiri.

            Tapi ironi yang dirasa oleh Felis sama sekali tidak dirasakan oleh Nikita. Untuk kali pertama sejak pengalaman traumatis yang pernah diberi Felis, ia tersenyum pada pemuda itu. Senyum tulus yang menunjukkan kepercayaan mutlak pada Felisio. Senyum yang meruntuhkan keinginan pemuda itu untuk tetap melanjutkan tipu dayanya.

            Felisio menghela nafas panjang kemudin ditepuknya lutut Nikita lembut, “lanjutkan  pekerjaan ini di kamarmu, ini sudah malam saatnya kau tidur Nikita.”

            “Kakak tidak tidur?”

            “Ada banyak pekerjaan yang harus kuurus.” Jawab Felis seraya bangkit dari duduknya. Nikita ikut bangkit bersamanya, membawa serta kotak berisi foto ibunya dan scraff book  yang diberi Felis. “Jadi kembalilah ke kamarmu,” ..., ‘karena aku tidak janji tidak akan berubah pikiran lagi jika kau terus di sini’ sambung hatinya berkata.

            Nikita mengangguk dan melangkah menuju pintu dengan susah payah karena barang-barang yang ia bawa. Di ambang pintu, tepat sebelum Felis menutupnya ia menoleh dan kembali tersenyum pada sepupunya. “Selama malam, kak.”

My Lovely LoliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang