3| Jarak

2.6K 145 53
                                    

3| Jarak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

3| Jarak

"Why am I so afraid to lose you when you are not even mine?"

Siapa yang akan menduga, seorang Shafa akan jatuh cinta pada seniornya?

Nihil, tak satu pun pernah berekspetasi tentang itu.

Aku adalah gadis yang cenderung menutup; tidak membiarkan orang mengetahui privasi-privasi semacam itu. Lagipula, jarang juga yang ingin mengetahui privasiku.

Kak Adlan—ketua PMR itu—pada saat aku bertemunya, berstatus sebagai pelajar SMA, kelas sebelas. Dia alumnus SMP tempat dimana aku belajar sekarang. Sebagai senior, maka ia datang pada malam pelantikan. Kak Adlan banyak turun tangan di banyak spot, membantu para panitia. Diam-diam, aku memerhatikannya dari jauh.

Kenapa dia terlihat begitu indah dengan bingkai kotak di wajahnya?

~

Hari Minggu menyambut kami dengan paksa. Mentari terasa langsung terik saja, membanjiri kami dengan silau yang tak tertahankan. Upacara penutupan berlangsung lancar di lapangan—dibarengi dengan cuaca yang tidak mendukung. Kutatap langit, aih, tiada awan satu pun di sana!

Sehabis upacara penutupan, semuanya bubar. Kami, anak-anak kelas 7, yang sebelumnya berstatus sebagai calon anggota PMR, kini telah resmi menjadi anggota PMR. Banyak hal yang kami lakukan dalam dua hari ke belakang, sibuk mempersiapkan diri. Kegiatan pelantikan ini diberikan untuk menggembleng mental serta mengukur ketangguhan anggota, sampai mana ia mampu untuk terjun ke bagian-bagian berbahaya.

Meskipun terlalu jauh berpikir, tetapi semua itu dilakukan atas bimbingan guru. Benar-benar dengan pertimbangan dan persiapan yang matang.

Orangtuaku datang terlambat menjemput. Semua kawanku sudah pulang, kecuali beberapa kakak kelas dan alumni yang masih berseliweran, membersihkan sisa-sisa kegiatan pelantikan semalam.

Di situ, semua terulang kembali.

Aku melihatnya.

Bukan hanya melihatnya, tapi bertemu. Dia berdiri tak terlalu jauh dari tempatku menunggu orangtuaku. Dia sedang berbincang dengan beberapa kakak kelas PMR yang tengah sibuk mengevaluasi hasil kegiatan, yang harus dilaporkan ke pembina.

"Melihati Adlan, huh?" seseorang datang di sampingku, membuatku terkejut.

"E-e-eh?"

"Sudah, tidak perlu sekaget itu," itu adalah kakak kelasku, Icha, "dia memang punya banyak pengagum dari masa ke masa. Dia ketua PMR yang hebat, kita semua tahu itu."

"Uh-huh," sahutku, sembari menyembunyikan sebaik mungkin sebuah perasaan yang tiba-tiba saja ingin melonjak keluar; girang mungkin?

"Kalau kau mengaguminya, ingat kalau dia memang pantas diteladani. Tetapi, kalau kamu mencintai dia, ingat! Sainganmu berat," kata kak Icha, "ada banyak yang suka padanya."

"Ya, sudah pasti. Aku tahu itu," kataku pelan, sepelan mungkin, agar bunyi gemerutuk gigiku terdengar samar. Perasaan girang itu beralih menjadi sedikit ketakutan. Gugup. Atau mungkin..., kehilangan?

Tiba-tiba saja, perasaan itu tumbuh. Di saat aku belajar bahwa mencintainya tak pernah semudah apa yang aku pernah bayangkan.[]

Kisah Cinta Diam-Diam | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang