"Marry me or never."
Sarah mengacak rambutnya, frustasi. Ia jadi bingung sendiri, kok urusannya bisa jadi begini? Padahal niatnya untuk menjadikan Ali sebagai pacar hanya sampai pentas seni saja, sekedar untuk menunjukkan pada keempat sahabatnya bahwa dirinya bisa memenangkan tantangan mereka. Setelah itu dirinya akan meninggalkan Ali begitu saja, tapi kalau kejadiannya malah seperti, benar-benar di luar dugaan.
"Ma... Pa... kita kan masih sekolah, masih SMA... belum mapan, belum dewasa, kok kalian malah dukung Kak Ali sih?" Sarah mendelik kepada kedua orangtuanya, memberi isyarat pada mereka supaya menolak lamaran Ali.
Ayah dan Bunda Ali tersenyum simpul mendengar perkataan Sarah. Mereka bisa maklum, fenomena menikah mudah zaman sekarang ini memang merupakan hal yang aneh dan langka. Padahal justru dengan menikah muda, kematangan berfikir akan terbentuk, rasa tanggung jawab pun otomatis akan mengikuti. Mereka juga bisa terhindar dari pergaulan bebas, free sex, pornografi ataupun hamil di luar nikah.
"Iya karena mama dan papa sayang sama Sarah, kamu tau sendiri mama dan papa sering bepergian untuk urusan bisnis. Kami merasa telah memenuhi tanggung sebagai orangtua dengan memberikanmu materi berlimpah. Memberikan apapun yang kamu inginkan. Tapi kami sadar, kami salah. Kamu kesepian," papa Sarah sambil menghela napas berat. Menyadari kesalahannya selama ini yang terlalu sibuk dengan bisnis hingga mengabaikan perkembangan putri semata wayangnya.
"Sarah gak kesepian kok. Tiap mama dan papa pergi kan Demon, Ronald, Randy ataupun Jack pasti nginep sini. Kalo gak gitu, Sarah yang nginep rumah mereka."
"Iya justru karena itu mama makin merasa bersalah. Kamu jadi tomboi begini. Sisi perempuan kamu hilang karena selalu bergaul sama cowok."
"Tidak apa-apa Tante dan Om, Ali tidak memaksa, semua terserah Sarah." Ali tersenyum sopan sembari menatap kedua orangtua Sarah dengan ekspresi menenangkan. Tapi siapa yang tahu di dalam hati Ali rasanya nyut-nyutan. Merana sekali rasanya. Untuk pertama kali ia tertarik pada perempuan dan berniat serius, ternyata malah ditolak.
"Kak Ali... pacaran dulu aja kenapa sih? Kita kan belum terlalu mengenal satu sama lain?" Sarah mencondogkan tubuhnya ke arah Ali dan menatapnya dengan wajah memelas, membuat Ali gelagapan dan salah tingkah.
"Maaf, tidak bisa dek Sarah. Prinsip kak Ali, pacaran itu setelah menikah. Kita bisa memiliki waktu seumur hidup untuk bisa saling mengenal." Ali menjawab setengah gugup karena tanpa sengaja matanya menatap bulu mata Sarah yang ternyata lebat dan lentik, membuat jantungnya berdebar tak karuan.
"Hahaha... kak Ali pikirannya kejauhan nih, mending pacaran dulu aja, kalo gak cocok masih bisa putus. Kalo dah nikah gimana? Gak cocok cerai dong? Jadi janda di usia muda? Alamaaaak... " Sarah bergidik ngeri membayangkan dirinya menyandang status janda muda.
Ali tersenyum mendengar jawaban Sarah. Mugkin bagi Sarah memang lamarannya kali ini terkesan main-main, tapi ia serius. Ia pun bukan orang yang mudah berubah pendirian.
"Kak Ali janji akan menjaga hubungan kita dengan baik, tidak ada perceraian setelah menikah, dan yang Sarah perlu pahami, tidak ada yang namanya ketidak cocokan selama komunikasi masih berjalan baik dan keduanya bisa saling mengerti. Perpisahan dengan alasan ketidak cocokan merupakan alasan yang sangat klise."
Sarah melongo. Cowok jadul itu barusan ngomong apaan ya? Panjang bener kayak kereta api lewat. Oh my god. Kalo ditolak, kalah taruhan dong? Ia musti ngerelain Porsche Panamera Turbo kesayangannya. Tidaaaakkk!!! Padahal untuk mendapatkan itu mobil, dirinya musti ngambek sebulan penuh, ngurung diri, mogok makan dan hampir bunuh diri meski cuma pura-pura.
"Ok, kalo Kak Ali maunya begitu," jawab Sarah Akhirnya. Biar saja jadi janda muda, yang penting mobil kesayangannya aman.
Mama dan Papa Sarah melihat anaknya dengan ekspresi tidak percaya. "Kamu yakin Sarah?" tanya mama Sarah.
