Chapter 5

413 32 15
                                    

"Cieee Zac disusulin nih.." teriak Vavel, salah satu pemain basket putra. Semua mata tertuju ke arah Zac yang sedang marah tetapi kemudian sebuah senyum tersungging di wajahnya. Zac sedang tersipu malu. Kepada siapa semua tawa dan teriakan itu ditunjukan?

Tidak, bukan aku. Yang mereka maksud adalah Grace, dia ikut melihat pertandingan. Dugaanku kemarin malam benar, Grace akan datang dan mendukung Zac. Dan yang Zac tunggu tentu saja bukan aku, tapi Grace.

Yang lebih mengagetkan adalah setelah ini, tim basket putra SMPku akan melawan SMPnya Grace, SMP Cipta Bangsa. Dan Grace lebih mendukung SMP kami, itu semua hanya untuk Zac.

"Tuh loh, dah dibelain duduk di bagian sini biar bisa ndukung kamu secara spesial. Zac berarti mainnya harus lebih semangat." Kata Chloe, anggota tim basket putri.

"Paan sih.." ujar Zac yang berusaha untuk menutupi kebahagiaannya.

Melihat pemandangan itu, bagaimana bisa aku bahagia sekarang? Baru saja aku duduk dan memandangi Zac sebentar, wanita itu datang dan merusak semuanya.

"Yang sabar bey." Kata Lea menasehatiku. Lea lalu merangkul pundakku sebagai tanda jika dia peduli padaku.

"Gak ikutan ndeketin Zac juga bey? Nanti kalah loh dari Grace." Ejek Eva sambil tertawa.

"Ih, Grace ternyata aslinya lebih cantik ya daripada di fotonya. Pantesan Zac klepek-klepek. Dari SD ya bey, si Zac naksir sama Gracenya?" Imbuh Ellen memperburuk susana hatiku.

Benar, Zac memang naksir Grace dari SD. Saat aku belum mengenal Zac, salah satu faktor ini yang semakin mempersulitku untuk mendapatkan Zac.

Grace dan Zac lalu bersalaman, tentu saja diikuti dengan teriakan penuh kegembiraan dari teman-temannya. Sementara aku merasa sangat tidak nyaman di sini,seperti kehadiranku tidak diharapkan.

"Lea,pengen pulang.." rengekku kepada Lea dengan suara yang sangat pelan sampai Eva yang duduk di sebelahku tidak mendengarnya.

"Yaelah baru aja sampe bey, masa cuma gara-gara Grace dateng trus kita pulang. Sabarlahhh..." ujar Lea. Aku lalu melipat kedua tanganku dengan kesal.

Aku kembali melihat ke arena dan satu per satu pemain basket putra SMP Cipta Bangsa berlari menuju arena untuk berbaris. Begitupun para pemain SMPku yang kemudian menyusul. Sorak riah terdengar dari tribun kami menyambut para pemain,khususnya untuk Vavel si kapten basket. Tampangnya tak seberapa tapi karena ketenarannya mungkin jadi banyak yang menyorakinya. Selain itu slam dunknya juga sangat keren.

Tak lama setelahnya pertandingan pun dimulai. Vavel berhasil merebut bola dan berlari menggiringnya.  Dia memberikan bola itu ke Cody dan ia berhasil memasukannya ke dalam ring. Keriuhan semakin menjadi-jadi.

Seharusnya hari ini menjadi hari paling bahagiaku karena bisa menyemangati Zac yang sedang bertanding, tetapi suasana hatiku menjadi sangat buruk. Aku seharusnya tidak berada di sini, kehadiranku tidak diinginkan oleh siapapun, tak terkecuali Zac yang bahkan tidak mengetahui jika aku di sini. Dia tidak tahu kalau aku datang untuknya.

Bukan hanya sebagai teman yang tidak dianggap, tapi juga sebagai pengagum diam-diamnya. Zac harus tau kalau aku selalu di sini untuknya, kalau aku bisa melebihi Grace. Bukan dalam segi fisik, karena aku tentu saja kalah darinya, tapi dari segi ketulusan, tidak ada seorangpun yang bisa menandingiku.

Aku benar-benar menyukainya, aku tidak melihat fisiknya karena dia bukanlah cowok tertampan di sekolahku,bukan juga cowok yang memiliki badan ideal--bahkan tinggi kami hampir sama--. Tapi saat aku pertama melihatnya, hatiku langsung memilihnya. Tidak,bukan karena dia termasuk cowok anggota basket yang terkenal, tapi jika hati telah menentukan, aku bisa apa?

GoneWhere stories live. Discover now