MUN; Dua

208 17 2
                                    

"Kosong?" Tanya seseorang yang tiba-tiba sudah menaruh piringnya di depanku. "Boleh gabung?" belum dipersilakan pun dia sudah duduk.

Aku mendongak. "Oh, Hei, uhm iya, silahkan." jawabku kikuk. Ternyata dia.

"Kamu ngapain di sini?" Aku berusaha membuka percakapan untuk menghapus keheningan.

"Loh, kamu belum tahu? Emang Rama sama Aby belum bilang? Nanti malam kan aku jadi pengisi acara gala dinner kalian." Jawab orang yang duduk di depanku.

"Oooohh."

"Cuma oh aja?"

"Hehehe."

"Dasar aneh, seperti biasa." Dia tersenyum miring. "Masih seperti dulu."

Kenapa ia suka sekali mengungkit yang dulu-dulu.

"My Broo!' seru Aby dari jauh ketika melihat sosok di depanku ini. Masih dengan tertawa anehnya. Setelah undur diri dari teman-teman yang dia ajak ngobrol, Aby kemudian beralih mendekati kami. "Oy, Wan, akhirnya nongol juga! Lo entar malem tampil kan? Mana rombongan lo?" mereka saling menjabat dan berpelukan ala-ala sahabat karib. Yah mereka memang sesama anak ibukota. Bisa dilihat dari bahasa dan logat yang mereka gunakan.

"Yoi Broo, bocah-bocah masih di jalan, bentar lagi nyampe paling. Abis ngambil alat," Ewan mengamati penampilan Aby dari atas sampai bawah. "Hahah, tumben lo rapi? Bagus lah. Kagak aneh-aneh kaya biasanya."

Yang dikatai hanya tertawa.

Aku masih duduk mendengarkan obrolan mereka sambil mengamati sekeliling. Makananku sudah habis. Kulihat di seberang tempat makanku–di dekat pintu masuk restoran--delegasi Amerika Serikat dari chamberku sedang duduk di kursi outdoor sambil manggut-manggut. Rupanya dia sedang mendengarkan lagu dari earphonenya. Dia tidak menyadari kalau aku melihat ke arahnya karena ia memejamkan mata dan melipat tangannya. Nampak tak terganggu oleh keadaan sekitar.

"Oy, Wan, mojok aja lu sama si Agas!" Aku tidak menyadari kedatangan Rama yang kemudian memenuhi kursi terakhir di mejaku. Aku memicingkan mata ke arah Rama. Yang dilihat hanya menjulurkan lidah. "Kangen ya sama kenangan selama magang?"

Oke, lama-lama Rama semakin ember. Dia memang suka mengolok-olokku dekat dengan Ewan.

Sebenarnya aku dan Ewan memang bisa dibilang cukup dekat. Terlebih setelah magang, karena selama magang aku tinggal di rumahnya. Selain untuk menghemat ongkos juga karena lebih dekat ke tempat magang. Toh dia juga yang menawariku. Aku yang suka gratisan jadi silau mata.

Satu bulan lebih aku tinggal satu atap--aku ralat--satu kamar dengannya. Selama satu bulan lebih juga dia memperlakukanku sangat baik. Bagaimana mungkin aku sebagai gay tidak tersentuh. Apalagi ia tampan. Perlakuan baik kadang jadi suka disalahartikan.

Mungkin saja itu dia lakukan karena aku masih terhitung tamu di rumahnya. Tidak hanya Ewan, keluarganya juga memperlakukan aku dengan sangat baik. Kadang-kadang aku terbawa perasaan karenanya. Pernah aku membayangkan kalau aku menjadi bagian dari keluarga Ewan ketika sedang berkumpul dengan keluarganya, maksudku sebagai menantu orang tuanya.

Hush, apa-apaan sih! Singkirkan pikiran macam-macam itu Agas! Dia bahkan sudah menjadi pacar orang.

Ya, intinya karena itulah Rama ataupun teman-teman cewek di kelasku suka mengolok-olok kedekatan kami. Kami bahkan menjadi salah satu ship favorit dari para fujoshi di kelas.

Haish! Semakin ngaco saja.

"Guys, bentar lagi sesi kedua mulai nih. Aku balik ke ruangan dulu ya." Ucapku sebelum Rama semakin bicara yang tidak-tidak. Rama membenarkan dan kemudian berpamitan kepada Ewan. Dia menarik tangan Aby yang sudah bersiap-siap mengambil mangkuk Tom Yum ketiganya. Ewan sebentar lagi juga akan melakukan check sound bandnya di Ballroom Hotel. Hanya tinggal menunggu teman-teman bandnya datang.

University of Life: MUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang