MUN; Sembilan

125 13 0
                                    

Aku memejamkan mataku.

Dan itu terjadi begitu saja.

Ya. Aku percaya keberuntungan jarang datang dua kali dalam waktu yang berdekatan.

Setelah tadi siang aku mendapat ciuman maut dari Adam, aku yakin sekali kalau–jika benar dia berniat menciumku--akan ada halangan yang muncul.

Dan benar saja. Itu terjadi.

Lampu ruangan menyala kembali.

Davyn menarik wajahnya kembali. "Uhmm.... Sorry...." Wajahnya memerah. Dia menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak gatal. Kami saling memalingkan wajah merutuki kejadian barusan.

Double Sial.

Maksudku bukan sial karena lampunya menyala dan Davyn tak jadi menciumku tapi sial karena aku menantikan ciuman darinya. Sekarang aku lagi-lagi terlihat seperti botty gampangan.

Dan sial karena dia terlihat ganteng saat salah tingkah.

Sebenarnya kalau tadi kami jadi berciuman keadaan tidak akan seawkward ini.

Hey, kok aku jadi menyesali kejadian ini?!

Sesaat kemudian lagu kembali diputar. Lagu kali ini berbahasa Perancis. Aku tidak tahu apa judulnya. Aku dan Davyn meminum limun yang masih tersisa di gelas kami. Gelas limun yang sudah kosong kami letakkan di atas meja agar diangkut oleh pelayan. Setelah dirasa napas kami kembali teratur, Davyn mengundangku untuk turun lagi ke lantai dansa. Kali ini aku sudah tak segan lagi. Aku masih ingin menjadi Cinderello malam ini. Setidaknya walaupun MUN tadi berjalan tidak sesuai dengan apa yang aku ekspektasikan, hari ini tidak boleh lebih buruk dari itu. Aku harus mencari sendiri kebahagiaanku.

And this is it!

Kapan lagi seorang laki-laki yang secara fisik good looking, berwawasan, pandai, dan berperangai baik, napasnya memabukkan, mau mengajak laki-laki lain berdansa. Bahkan aku yakin meskipun Ewan berkata seperti itu–akan mengajakku berdansa--dia tidak akan melakukannya. Dan lagi dia sekarang pasti sedang sibuk dengan fansnya.

Hey Agas. Fokus! No more Ewan!

Lagu ini lembut. Tidak seperti waltz yang aku dengar di kartun sleeping beauty, ataupun The Blue Danube-nya Strauss.

"La Valse de L'amour," kata Davyn. "Indah ya?"

"Huh? Uhmmm ... Iya,..." lagi-lagi dia mampu menerka apa yang sedang aku pikirkan.

"Dav..." panggilku.

"Ya?"

"Apa kamu ... uhmm... bisa ngebaca pikiran?"

"Huh? Kenapa kamu mikir gitu?"

"Ah, nggak, cuma... kamu selalu ngomong hal yang lagi aku pikirin. Kaya contohnya tadi pas ngomong masalah aku yang over thinking, juga tadi waktu aku lagi nyoba nebak lagu yang lagi diputar sekarang. Kamu bikin aku jadi sedikit... errrr.... takut?"

Ia mendengus geli. Aku bisa merasakan otot wajahnya bergerak. Dia tersenyum. "Mungkin itu yang namanya jodoh."

Aku tersipu lagi. Davyn pandai sekali menggombal.

Tak terasa kami telah mengarungi lagu ini selama beberapa menit. Aku sudah tidak canggung lagi. Aku sudah mulai terbiasa dengan gerakan dansa ini. Kakiku sudah tidak sesering tadi menginjak kaki Davyn. Kini aku sudah mampu menguasai diriku sendiri. Davyn juga lebih leluasa mengarahkan ke mana kami pergi, bukan lagi mengarahkanku ke mana harus berpijak.

"Kamu belajar dengan sangat baik." Bisiknya lagi.

"I learned from the best." Aku sedikit mendongak menatap matanya. Lalu turun ke bibir merah delimanya. Benda itu tadi hampir menyentuhku. Aku hampir kalap kalau saja lagu dansa tadi tidak terhenti. Ya lagunya habis. Ini jeda sebelum masuk lagu ke dua. Kalau sesuai aturan berdansa yang kutahu, artinya kami harus berganti pasangan.

University of Life: MUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang