MUN; Delapan

118 13 2
                                    

Ternyata acara dansanya sudah dimulai. Dari lagunya sih aku menebak belum terlalu lama. Kulihat beberapa pasangan delegasi sudah mengisi lantai dansa. Beberapa panitia yang tengah menjalin kasih juga ikut menikmati kesyahduan suasana ballroom. Tidak ada yang peduli ketika aku dan Davyn masuk ke sini. Semua asyik dengan angannya sendiri. Dan sesuai dugaanku, ada beberapa delegasi yang mengajak panitia untuk berdansa. Laki-laki itu nafsunya susah untuk dikendalikan. Mengingat tidak terlalu banyak delegasi perempuan yang tersedia, panitia yang menganggur karena tidak memiliki pasangan pun diajak naik lantai dansa. Lagipula sudah tidak ada delegasi perempuan yang duduk karena semuanya sudah memiliki pasangan dansa. Panitia-panitia pun dengan senang hati diajak berdansa oleh cowok-cowok berpenampilan perlente a la diplomat.

Aku duduk di salah satu kursi yang kosong di ujung ruangan itu. Tersenyum menyaksikan semuanya tenggelam dalam suasana yang penuh cinta ini. Aku percaya sebenarnya para delegasi itu juga sudah mengincar beberapa panitia di sini ketika tahu di penutupan MUN akan ada acara dansa, jaga-jaga kalau tidak kebagian stok delegasi perempuan.

Ketika aku sedang mengedarkan pandangan mengamati pasangan-pasangan yang tengah berdansa, aku dikagetkan oleh sebuah tangan yang tertengadah di depanku.

Tangan Davyn.

"Maksudnya apa, Davyn?"

"Kamu mau terus duduk di sini, mandangin mereka?"

"Iya, dan sekarang kamu menghalangi penglihatanku."

"Oh, come on!" Davyn memutar matanya.

"Singkirin tangan kamu dari mukaku, Dav," mohonku.

"Kamu benar-benar nggak ngerti apa maksud aku ngelakuin ini?"

Aku hanya memiringkan kepala dan menaikkan satu alisku. Aku benar-benar tidak paham maunya.

"Ini namanya ajakan dansa..."

Aku terhenyak. "Kamu pasti bercanda, kan? aku--"

"...dan yang perlu kamu lakuin adalah..." Davyn mengambil telapak tangan kananku dan meletakkannya di atas tangannya yang tertengadah. "...balas ajakanku."

"Davyn, tapi aku nggak bi--"

"Aku bakal bimbing kamu, tenang aja."

"Davyn, kita berdua kan laki-laki...." Dan dia tidak lagi menggubris kata-kataku. Dia terlanjur menarikku ke lantai dansa.

"Dav, ini--"

"Ssshh, jangan banyak bicara! Dekatin tubuhmu dengan tubuhku." Dia menarik punggung dan memeluk pinggangku mendekat sampai-sampai dada kami menempel satu sama lain. Hanya terhalang pakaian yang kami kenakan sekarang.

"Dav, ini berlebihan," Bisikku. Tanganku tertekuk di antara tubuh kami, mendorongnya pelan agar tercipta sedikit jarak di antara kami.

"Aku sekarang yakin kalau kamu emang belum pernah dansa."

"Kita ini laki-laki Dav, apa kamu nggak risih?" Ucapku setengah berbisik. Walaupun lirih aku yakin Davyn pasti dengar karena jarak kami tidak lebih dari dua sentimeter.

Bukannya aku tidak mau. Aku senang. Aku hanya mencoba untuk terlihat senormal mungkin di hadapan orang-orang yang tadi mencemoohku. Aku sudah cukup banyak mempermalukan diriku sendiri hari ini.

"Apa kamu selalu begini?"

"Begini gimana?"

"Apa kamu selalu mikirin apa yang orang lain omongin tentang kamu?"

Aku hanya diam. Bagaimana dia bisa memiliki penilaian seperti itu padaku? Apa aku memang seperti itu? Apakah jika aku benar-benar seperti itu, aku terlihat menyebalkan? Apakah jika--

University of Life: MUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang