MUN; Sepuluh

130 13 0
                                    

"Dav--"

Nihil.

Napasku berantakan. Belum lagi penampilanku. Aku sudah berusaha kembali ke lobi secepat mungkin, mengabaikan tatapan orang-orang yang memandang jengah padaku yang--dengan tidak tahu aturannya--berlarian di selasar hotel. Sayangnya yang aku cari sudah tidak ada ketika aku kembali. Pandanganku menyapu bersih ke semua penjuru namun sosok Davyn tak terdeteksi keberadaannya.

"Agas, ayo pulang!" malah Rama yang menegurku.

"Ah, Ram, apa kamu lihat Davyn?" Aku mendengus. "Tadi dia nunggu di situ. Yang tadi duduk satu meja dengan kita, si Singapura!" Lagi-lagi sebuah dengusan terlepas. Aku tidak bisa santai pada keadaan seperti ini.

"Ssshh, tenang dulu," Rama menggerakkan tangannya menyuruhku mengambil napas agar aku tidak panik. "Coba kamu cari dulu, aku tunggu di bangku lobby yang dekat lorong tempat parkir ya."

"Oke, sebentar ya, Ram!" aku bergegas mencari Davyn ke seluruh penjuru lantai dasar hotel, lantai yang paling mungkin dijamah Davyn saat ini karena seluruh barangnya sudah dia kemasi. Tadi dia juga bilang akan langsung pulang karena besok dia sudah harus terbang ke Bali untuk perjalanan dinas bidangnya, tempat ia bekerja.

Rasanya sudah hampir seluruh sudut aku datangi tapi aku tak jua melihat batang hidungnya.

Kamu di mana sih Davyn? Apa kamu sudah pulang?

"Kakak cari siapa?" Tanya salah seorang panitia yang aku familiar mukanya namun aku lupa namanya. Dia pasti melihatku kebingungan maka dari itu ia berinisiatif untuk membantu. Sepertinya dia juga tahu aku tapi lupa namaku.

"Davyn, delegasi Singapura UNESCO. Yang tadi bawa koper dan jaket bomber yang warnanya sama seperti kopernya. Kamu lihat?" Cecarku. Serentetan kata keluar begitu saja dalam satu tarikan napas.

"Yang tadi nunggu di situ ya?" dia menunjuk ke tempat yang memang Davyn gunakan untuk menunggu sebelum ia pulang. Aku mengangguk mengiyakan sembari mengatur napas. "Dia tadi sudah pulang dijemput sebuah mobil. Dia tadi titip pesan juga kalau ada yang nyari dia, bilang saja dia sudah pulang. Begitu Kak."

Aku menunduk memegang lututku lemas. Aku mengecewakan orang yang baik padaku.

"Dia nggak bilang apa-apa lagi?" Tanyaku penuh harap. Segera saja dijawab dengan gelengan. "Oh ya sudah, terima kasih ya..." aku menepuk pundak anak laki-laki panitia tadi dan langsung menuju tempat di mana Rama menungguku dengan langkah gontai.

"Ketemu?" seru Rama saat melihatku berjalan ke arahnya.

"Dia udah pulang, Ram," desahku. "Harusnya aku tadi nunggu sebentar. Padahal tadi dia udah bilang bakal segera pulang karena udah dijemput..." ucapku penuh sesal.

Rama tersenyum bijak. Menenangkan. Itu keahliannya. "Ya udah, jangan sedih gitu ah. Nanti minta aja kontaknya ke panitia. Ayo kita pulang saja."

Mendapat elusan di lengan membuatku lebih baik. Aku menjawab dengan gumaman dan mengangguk mengiyakan ajakan Rama. Senyum getir ini tak mampu aku sembunyikan.

Sejujurnya aku masih agak tidak enak karena telah menyia-nyiakan orang yang telah berbuat baik padaku. Kesetiaannya menjadi aliansiku selama sidang dan usaha-usahanya meredam tensi terhadapku selama sidang, usahanya untuk mengajakku berbicara selama break sidang agar aku tidak tampak seperti jomblo yang konyol pastinya patut mendapatkan apresiasi.

Belum lagi kehangatannya selama dansa tadi.

Kini saat dia meminta waktuku hanya beberapa menit saja aku malah meninggalkannya untuk urusan orang lain yang seharusnya bisa mereka selesaikan sendiri.

University of Life: MUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang