Phantomhive palace malam ini terlihat sibuk. Tawa malu-malu dan obrolan seputar bisnis memenuhi setiap sudut ruangan yang difungsikan sebagai aula yang berada di lantai satu. Berbeda dengan suasana disebuah kamar yang berada di lantai yang berbeda.
"Tinggalkan aku lizz"
Terlihat seorang pemuda yang tengah memandang seorang gadis dihadapannya dengan ekspresi datar.
"Kenapa? Tolong jangan seperti ini" Tanpa aba-aba setetes air mata mengalir melewati pipi sang gadis yang kemudian membentuk aliran air mata.
"Aku ini tunanganmu Ciel. Tidak bisakah?" lanjut gadis itu dengan suara isakan yang coba ditahannya.
"Pergilah lizz, atau kamu mau kuseret dengan paksa hah?" dengan terpaksa gadis itu meninggalkan pemuda yang terlihat tidak menghiraukan kehadirannya.
"Maafkan aku Ciel"
Elizabeth Ethel Cordelia Midford, gadis manis yang tahun ini genap berusia 17 tahun, kini tertunduk lesu sambil tangannya menggengam erat bagian ujung renda yang menghiasi kedua lengan bajunya.
Sungguh dirinya tidak mengerti, sikap tunangannya begitu dingin. Seolah mereka tidak memiliki ikatan apa pun. Walau pemuda itu selalu memanggilnya dengan nama kecilnya, tapi tidak menjamin jika hubungan mereka dekat.
Lizzy tahu jika mereka dijodohkan dan dipaksa untuk menerima ikatan ini. Tapi sungguh Lizzy memang sejak awal sudah menaruh hati pada pewaris muda keluarga phantomhive. Pemuda itu memang tidak pernah tersenyum sekalipun, hanya tatapan dingin dan wajah datar yang selalu hadir di wajahnya. Lizzy tidak begitu banyak tahu tentang latar belakang tunangannya.
Mereka baru bertunangan sekitar tiga bulan lalu. Lizzy yang saat itu tengah merajut syal dikejutkan dengan ucapan sang ayah yang menyuruhnya segera bersiap. Sungguh mendadak memang, mengetahui jika ada seorang pemuda yang hendak melamarmu terlebih belum mengenal satu sama lain.
Pemuda itu datang bersama kedua orangtuanya. Bisa Lizzy lihat tatapan tidak suka si pemuda ketika bertatapan dengan dirinya. Tapi entah mengapa, semenjak saat itu hatinya berdetak tidak karuan.
Lizzy menggangap ini semua hanya reaksi spontan ketika bertemu pemuda yang rupawan awalnya, namun semakin sering bertemu pemuda itu, Lizzy sadar bahwa dirinya telah jatuh hati pada Ciel. Sungguh cinta memang datang tanpa diduga.
.
.
.Earl Ciel Phantomhive, pemuda pewaris tunggal dari perusahaan Funtom. Pemuda yang tahun ini genap berusia 20 tahun itu dikenal karena sifatnya yang terlampau arogan. Bagi pemuda itu pekerjaan adalah segalanya. Karena dirinya tidak ingin berpangku tangan pada kekayaan yang diberikan kedua orang tuanya.
Ciel sebagai anak sungguh tahu diri. Semua harta dan kedudukan yang dimilikinya saat ini bukanlah murni hasil usahanya sendiri. Walaupun dia tahu jika perusahaan telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dibawah kendalinya.
Ayahnya menyerahkan kepengurusan perusahaan sejak dua tahun yang lalu. Tentu faktor usia lah yang membuat ayah Ciel, Vincent Pahtomhive menyerahkan sepenuhnya urusan perusahaan pada Ciel.
Lagipula Ciel memang berbakat di bidang bisnis. Pemuda itu tak pernah mencampur adukan antara keluarga dan bisnisnya. Tidak ada kata keluarga didalam sebuah bisnis, itu prinsip Ciel.
.
.
.
Seorang gadis terduduk dengan tangan yang mengusap lembut cincin perak yang tersemat di jari manisnya. Cincin bertahtahkan batu giok yang menjadi pengikat hubungan antara dirinya dengan sang tunangan. Sungguh dalam hati Lizzy tidak sabar menantikan upacara sakral yang sangat di dambakan banyak orang. Mengucap janjin suci di altar pernikahan, mengucap janji sehidup semati di hadapan Tuhan.Tentu musthail jika dirinya berharap hal itu akan segera terjadi. Tunangannya, Ciel Phantomhive belum menyetujui hal itu. Orang tua mereka pernah membahas hal ini, tapi pemuda itu mengancam akan pergi dari rumah jika terus di paksa menikah dalam waktu dekat. Memang kekanakan, tapi Ciel berkata jika dirinya ingin mengenal perempuan yang akan dinikahinya nanti, yang akan menjadi isteri sekaligus ibu dari anak-anaknya kelak.
Bagi pemuda itu pernikahan adalah momen sekali dalam seumur hidup. Dirinya tidak ingin menikah tanpa rasa cinta dihati yang nantinya berujung pada perpisahan. Lizzy akui alasan itu memang cukup masuk akal dan penting bagi pasangan yang ingin melanjutkan hubungannya ke tahap yang lebih serius. Apalagi pernikahan adalah hal yang sakral, janji yang diucapkan atas nama Tuhan. Tidak mungkin hal ini dibuat main-main.
Lizzy menghela nafasnya kasar, sebenarnya lelah hanya menjadi pihak yang mencintai sendirian. Sakit memang, terlebih hubungan mereka tidak ada sedikitpun kemajuan walau sudah berjalan selama tiga bulan. Ciel masih saja bersikap dingin dan seolah tidak peduli padanya. Tentu sulit menerima seseorang yang tidak dicintai dan terlebih hubungan mereka adalah hubungan yang dipaksakan.
Perempuan memang mudah jatuh cinta, lain halnya dengan kaum pria yang cenderung sukar jatuh cinta. Tapi seorang wanita lebih tulus mencintai saat hatinya memang sudah memilih sang pemilik hati. Wanita akan sulit berpaling jika hatinya sudah menetapkan hati pada seorang pria. Kini langitlah yang menjadi temannya kala hatinya tidak sanggup menahan rasa pedih yang seketika menguar.
Lizzy seringkali berbicara pada langit untuk mengutarakan isi hatinya, terlebih langit di malam hari. Langit malam memberinya ketenangan dan Lizzy selalu berharap ada bintang jatuh yang mendengar harapannya.
Lizzy memang percaya pada hal-hal seperti itu, tapi tidak sepenuhnya. Semua dirinya lakukan agar selalu optimis dan tidak putus asa, anggap saja sebagai sebuah motivasi tidak kasat mata. Apa salahnya memiliki banyak harapan, walau memang terkadang harapan belum tentu menjadi kenyataan.
❄❄❄❄❄❄❄
Welcome Love
❄❄❄❄❄❄❄Masih banyak utang fic dan sekarang buat fic baru.. Sebenarnya fic ini sudah ada di draft sejak lama. Tapi belum saya lanjutkan.
Suka banget sama pair ini di anime black butler, tapi banyak banget yang benci Lizzy, entahlah. Jujur saya kurang suka sbastian dipasangkan dengan Ciel. Tapi saya suka banget sama karakternya sbastian , cool dan kadang kocak walau ekspresif.. Opps curhatSee you in the next blank