Rasa ini begitu menyiksa.
Memudarkan rasa bahagia di dada.
Mencoba bangkit berjuang sekuat tenaga.
Tak ubahnya kesia siaan belaka
.
.
.Memandang langit malam yang cerah dengan hamparan bintang bagai samudera luas. Lizzy termenung, mengingat kembali pertemuannya dengan Nathan Swarts. Pemuda itu tidak seburuk seperti dugaannya.
Bahkan rasa terkejut melingkupi hati, kala Nathan berani merengkuhnya, mendekap erat seraya mengelus rambut panjangnya seolah memberi ketenangan.
Namun ada satu hal yang mengganjal hatinya. Katakan jika dirinya gadis bodoh. Terbawa suasana hingga menyetujui acara makan malam di rumah pemuda itu.
Lizzy tak memikirkan hal aneh seperti "bukankah bahaya jika bertemu dengan seseorang yang tidak kau kenal baik sebelumnya "
"Ini membingungkan"
.
.
.Tepat pukul 07:00 malam seorang pemuda tampan dengan tuxedo hitam Nathan Swarts tiba. Menjemput seorang gadis yang memiliki tempat khusus dihatinya. Pemuda itu bahkan tak sabar menantikan hari ini. Berdebar hingga perasaan menyesakkan memenuhi setiap rongga dadanya namun itu menyenangkan.
Sempat tersendat karena para penjaga yang sedikit bertanya-tanya. Namun gadis yang di tunggunya menghampiri. Seolah memang tahu akan kedatangannya. Lizzy begitu cantik, rambut pirang panjangnya diurai dan hanya di jepit sebagian. Memakai gaun berwarna cokelat muda yang membuat kulit putihnya bersinar tertimpa cahaya rembulan. Nathan begitu terkagum akan keindahan yang Tuhan berikan pada sang gadis. Sungguh mengapa pemuda bodoh itu mencampakkan gadis ini.
"Maaf Sir dia tamuku"
"Baiklah lady"
"Silahkan masuk"
Nathan tersenyum pada penjaga yang juga melakukan hal serupa. Tentulah bagi seorang pria meminta izin pada kedua orang tua seorang gadis untuk pergi keluar adalah hal yang penting. Tak sopan jika menyuruh gadis itu yang langsung datang menemuinya, rasanya tak pantas.
.
.
.Mataku tak kuasa menatap kagum pada dekorasi jamuan makan malam yang sudah di persiapkan Nathan. Yaa sepertinya memang Nathan adalah pemuda baik. Lizzy bisa merasakannya sejak perjumpaan meraka di pesta tempo hari.
"Kau menyukainya"
Kuulas senyun lembut pada pemuda itu. Sungguh ini semua begitu indah. Diriku merasa diistimewakan. Terbesit pertanyaan di benakku apakah tak apa seperti ini?. Tentu tidaklah dibenarkan, seseorang yang telah bertunangan bertemu dengan pria yang terang terang menyatakan perasaan padanya.
Tapi bolehkah sekali saja, tak pernah Ciel bersikap romantis seperti Nathan. Diriku tidak terlalu berandai Ciel menjadi pria romantis, dengan pemuda itu bersikap baik dan lembut tentu sudah lebih dari cukup.
"Lizz.. Kau tahu setiap waktu yang ku lewati tak memudarkan rasa cintaku untukmu.. Tentu aku tidak memaksa kau membalas perasaanku.. Tapi satu hal yang perlu kau ingat bahwa"
Kulihat Nathan tersenyum tulus. Pemuda itu terlihat serius, rasa gugup seketika melingkupi. Entah harus mengatakan dan bersikap seperti apa.
"Datanglah padaku jika kau sudah merasa lelah.. Aku akan selalu menunggumu"
Tetes demi tetes air mata mengalir daru kedua pelupuk mataku. Sungguh perkataan Nathan membuat hati ini di lingkupi rasa bahagia yang tidak terkira. Namun sungguh cinta itu memang membutakan. Hati ini sudah terbiasa mencintai Ciel. Walau perlakuan kasar yang sering ku terima, entah apa yang ku fikirkan. Ciel selalu menjadi pemilik hati ini.
