Part 3

38.1K 1K 2
                                    

***

Author POV

Malamnya Mama Amel dan Mama Anne tiba dirumah. Saat mendengar bahwa Cakka sakit kedua wanita paru baya itu buru-buru pulang dari Bandung.

"Cakka, kamu sakit apa Nak?" dengan tergesa-gesa Mama Cakka masuk kedalam kamar saat melihat putranya berbaring lemas dengan handuk kecil didahi.

Shilla menghampiri keduanya, tak lupa dia menyalim tangan Mamanya dan Mama Cakka.

"Cakka demam Tante, tadi Shilla udah panggil Tante Rina, katanya Cakka cuma kecapekan dan butuh istirahat" jawab Shilla.

"Oh iya makasih sayang, kamu memang istri yang baik. Oh iya, mulai sekarang kamu jangan panggil Tante lagi dong kebiasaan deh," Mama Amel mengingatkan Shilla.

"Iya sayang, manggilnya itu Mama. M a m a," eja Mama Anne penuh penekanan.

"Eh iya Ma," ucapnya seraya tersenyum kaku.

Beberapa saat setelahnya, kedua wanita paruh baya itu langsung turun ke lantai bawah karena masih ada yang harus di urus.

Shilla duduk disisi ranjang mengarahkan tubuhnya menghadap Cakka yang tertidur pulas, matanya tak lepas memandang cowok itu seolah jika ia berpaling akan ada hal yang akan ia lewatkan.

Nyatanya, ini adalah pertama kalinya Shilla melihat Cakka dengan jelas dengan jarak yang benar-benar sedekat ini.

Dia memang tampan, Shilla membatin tak bisa memungkiri.

Shilla tersenyum tipis, dan cowok dihadapannya ini adalah suaminya.

Tak pernah terpikirkan olehnya ia akan menikah secepat ini, dengan berbisik pelan Shilla berucap, "cepat sembuh."

***

Cakka POV

Aku benci sakit.

Sangat benci.

Alasannya karena aku hanya bisa tidur seharian di atas ranjang tanpa bisa melkukan apapun dan itu sangat menyebalkan.

Tapi untuk pertama kali, aku menikmatinya, ternyata menikah dengan Shilla tidak seburuk itu. Meskipun aku tidak mencintainya tapi aku tidak bisa mengatakan aku membencinya, jika saja dia sedikit lebih ramah kami bisa menjadi teman. Siapa tau nantinya bisa saling menyukai, aku tidak ingin mengingkari kemungkinan-kemungkinan itu. Lagipula, itu akan bagus untuk aku dan dia kedepannya.

Aku memang menerima pernikahan ini karena paksaan Mama dan Papa namun aku tidak terlalu menyesalinya karena istri yang dipilihkan untuk ku bukanlah seseorang yang patut ditolak.

Dia cantik dan baik, meskipun cukup ceroboh.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali setelah tidur seharian, ku rasakan tangan ku terasa berat untuk diangkat saat aku menoleh ke kiri, ku lihat Shilla tertidur disisi ranjang sambil melipat kedua tangannya dan menempelkannya dipipi.

Oh damn! She's my wife, i can't believe she's mine.

Lama aku memperhatikan wajahnya yang tertidur pulas. Bibir tipisnya semerah tomat, pipinya yang cukup berisi sangat lucu. Beberapa saat kemudian ia terbangun dari tidurnya, setelah mengucek matanya dia langsung terduduk menghadapku.

"Lo udah bangun Kka?" ucapnya dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Hmm," aku tak berniat banyak bicara, walaupun sebenarnya aku sudah mulai merasa baikan tapi tetap saja kepalaku masih terasa pusing.

Aku malas mengatakan kalau kepala ku masih sakit sudah ku katakan aku tidak suka sakit, sebagai laki-laki aku tidak akan memanjakan penyakit.

Demam adalah hal kecil hanya saja Shilla yang menganggap ini berlebihan.

Bukan Pernikahan DiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang