Alice

342 9 0
                                    

Entah berapa banyak butir obat yang terminum, yang kupedulikan hanya aku merasa damai setelahnya.

tak memikirkan detak jantungku yang kecepatannya mengimbangi kereta ekspres. atau cepatnya damai itu berakhir, aku tak peduli.

aku masih memiliki banyaknya botol obat.
yang setia bergilir masuk beberapa jam lagi.

entah serusak apa seluruh organku, setidaknya tak ada yang kutakuti.

mereka tak memiliki bibir untuk berteriak memprotes tindakanku.

ini saat paling normal dihidupku setelah beberapa malam, aku mampu mengendalikan emosi dan tindakanku.

terbayang dibenakku saat holmes menikmati kokain cair untuk kerja otaknya.

ah, andai aku memilikinya atau mungkin, andai aku berani melakukannya.

peringatan dokter muda itu memutar dimemori otakku, "jika kau kembali, aku tak akan berguna lagi. aku tidak bisa memperbaiki kerusakannya" begitulah yang kuingat.

yah, aku hanya memerlukan beberapa linting pil darinya agar damai ini segera berakhir , tanpa perlu diperbaiki.

kadang kala aku menangis, entah ini reaksi dari obat itu atau memang hampanya diriku,

sedikit demi sedikit aku masuk kedalam lubang jahanam yang dulu susah payah kutinggali.

tapi kutahu bukan karna obat dan imajinasi lubang jahanam itu.

karena didalam sana, entah orang biasa menyebutnya nurani.
aku menemukan Tuhan.

aku merasa Tuhan melihatku dengan lirih, sementara aku menangisi diri, membiarkan Tuhan melihatku dengan amat menyedihkan ini.

denging telingaku menghantarkan suara yang mudah kuingat.

"inikah aliceKu dulu? yang datang kepadaKu dengan Al-kitab ditangannya".
hujaman keras itu menusuk tanpa cela kehatiku, begitu sakit dan menyayat.

itulah yang kurasa walau kusadar tak ada pisau yang menghunus didadaku.
kulihat semua setan disekelilingku memudar, dan aku semakin menangis tersedu-sedu.
seolah aku adalah bayi yang membutuhkan asi dari ibu.

"kemana Kau? kemana Engkau saat aku mengalami kepiluan ini, membiarkan aku merusak tubuhku.
membuatku menunggu malaikat mautku.
tahukah Engkau, sepinya didalam sini.
aku mencariMu, disemua tempat suci.
bukankah Kau berjanjji untuk datang saat hatiku mulai mati?
tapi Kau datang saat aku terlihat rendah untuk seukuran manusia.
apakah aku juga terlalu hina untuk diriMu.
seperti semua orang memicingkan matanya saat memandangku.
ahh, Tuhan.
apa yang telah kulakukan ini.
kenapa Kau biarkan aku sendiri dalam ketakutan ini, dan, dan..."

--*--*--*--*--*--
Jakarta, 23 mei 1998.

bau bunga anyelir dan melati tercium semerbak dihidungku.

ditengah pusara itu kudapati mereka, menangis pilu dalam dosa.
mungkin kini mereka mengerti.

segala ungkapan sampah busuk dulu terdengar lagi, kali ini disisipkan dengan permintaan maaf yang terasa bagai dawai surga.

biarlah mereka tahu,
mereka adalah apa yang aku tulis dalam cerita, dan aku adalah apa yang tidak pernah mereka baca.

RefleksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang