ㅡ 1 ㅡ

13 1 1
                                    


Aku sedang menikmati waktu istirahat di kantin sekolah bersama ketiga temanku. Kim Taehyung, Park Jimin, dan Jeon Jungkook. Kami sama-sama kelas 2, terkecuali Jungkook. Ia, masih tahun pertama. Kami berteman dengan Jungkook karena ia teman dekat Jimin.

Berbincang dengan topik yang cepat berganti lalu tertawa terbahak hingga membuat perut keram adalah cara terbaik kami menghilangkan penat.

Sejujurnya, aku tak begitu menikmati waktu istirahat. Pasti selalu ada yang mengawasiku dari jauh. Ekor mataku juga harus sering melihatnya, agar aku tahu apakah aku akan dipanggil atau tidak olehnya. Kim Seokjin. Kakak kandungku yang selalu mengawasi.

Entahlah aku tidak mengerti mengapa ia seperti itu. Aku senang merasa ia masih peduli terhadapku, tapi terkadang aku risih.

Alasan yang seringku dengar adalah ia takut aku berubah seperti ayah tiriku. Ya, kakakku itu masih belum menerima ayah tirinya. Ia bahkan tak tinggal satu atap denganku, padahal hak asuh ada pada Ibu. Aku tak tahu dimana ia tinggal, dia selalu merahasiakan itu.

Aku menghela nafasku kasar.

"ada apa? Masih memikirkan masalah yang sama?" aku hanya mengangguk untuk merespon pertanyaan dari Taehyung.

"semangat Nunna!" Jungkook menyemangatiku dengan kedua tangannya yang mengepal lalu memperlihatkan gigi kelincinya.

Jungkook selalu berhasil membuatku tersenyum.

"aigoo, sudah pintar merayu" ledek Jimin.

Aku hanya menanggapi dengan tertawa, sedangkan Jungkook, ia terlihat masam.

"Sung He-ah, kau dipanggil" Taehyung menginformasikan. Teman-temanku ini memang tahu tenang hubunganku dengan Kim Seokjin yang notabenya murid dengan catatan point kesalahan terbanyak di sekolah.

Aku terduduk lemas lalu meletakan kepalaku di atas meja kantin. Baru aku tersenyum tadi, dan dia sudah mengacaukannya.

"cepat, dia sudah melihat ke arah sini" Jimin menyikut tanganku.

"iya iya aku paham" aku beranjak dari kursiku lalu mengikuti diktaktor itu.

Jarak kami berjalan cukup jauh. Ini bertujuan agar tidak ada yang curiga.

Kalau sudah dipanggil seperti ini, aku selalu berfikir tentang apa kesalahanku atau larangan baru apa lagi yang akan ku dapat.

Aku tidak mengerti kenapa ia selalu seperti itu. Bahkan, aku tidak tahu kenapa ia ingin merahasiakan tentang siapa aku.

Semua rahasianya membuatku merasakan ada tembok besar yang menghalangiku dengannya. Bukan hanya dengannya, tapi juga dengan Ayah kandungku. Ya, sebenarnya aku masih belum bisa memaafkannya. Tapi bagaimanapun juga dia adalah Ayah kandungku.

Mataku melihat ia berjalan ke arah atap. Tempat yang aman untuk membicarakan segalanya.

Sesampainnya di sana, aku melihat matanyanya yang intens menatapku. Jujur, aku gugup sekarang, ditambah angin yang kencang membuat bulu kudukku merinding.

"informasi? Kesalahan? Larangan baru?" tanyaku to the point.

"kesalahan" jawabnya tanpa ragu dan kedua tangannya di masukan ke saku celana. Aku menelan ludahku. Tolong pesankan batu nisan untukku.

Otakku berfikir tentang kesalahan apa yang sudah ku perbuat.

"dan larangan baru" mataku melotot ke arahnya. Apa-apaan ini. Aku bukan anak kecil lagi.

"oppa" ucapku pasrah. Pundakku turun lemas.

"kemarin kau kemana?" tanyanya.

Aku baru ingat. Aku bolos kelas muay thai . Aku tidak Mungkin bilang aku bolos. Sungguh aku lelah sekali kemarin. Tapi dia tak mungkin memberiku toleransi. Ya, dia yang memintaku masuk kelas itu. Tentu alasannya agar aku bisa menjaga diri.

FIX IT!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang