-Jangan datang lalu kau pergi.-
**
Prilly Latuconsina
_Ia rapuh, dan seseorang harus disalahkan kini.
"Prill"
Seruan itu sama sekali tak membuat Prilly beranjak dari tempatnya.
Dea berjalan menghampiri Prilly, berjongkok untuk mensejajarkan dengan tubuh Prilly yang sedang terduduk memeluk lututnya di dekat jendela kamar.
"Gue mungkin gak bisa rasain apa yang lo rasain, tapi gue tau itu susah buat di terima" Dea masih saja setia mengelus pundak Prilly, setidaknya memberi sedikit ketenangan bagi Prilly.
"Makan yuk, lo tadi pagi kan gak sempet sarapan"
Diam, dan haya ada suara gemercik air hujan gerimis yang mengguyur kota sore ini di temani isakan kecil yang berasal dari Prilly. Perempuan itu masih ingin larut dalam fikirannya rupanya.
"Ya udah, kalo lo pengen cerita lo tau harus kemana, gua pulang ya?" Akhirnya, Prilly mengangguk sebagai jawaban.
Setelah suara decitan pintu di tutup, Prilly baru beranjak dari tempat semulanya. Menuju balkon mungkin adalah pilihan yang tepat.
Seketika, memori bersama Laki-laki yang terakhir kali ia temui 7 jam yang lalu terputar begitu saja bagaikan film usang yang tidak layak tonton. Sejurus kemudian air mata itu mengalir lagi untuk kesekian kalinya untuk hari ini.
Bukan, Laki-laki itu bukan kekasih Prilly. Namun nyaris, jika saja laki-laki itu serius.
PHP? Mungkin. Prilly masih tak habis fikir, apa ia yang terlalu bawa perasaan?
Akhirnya, pandangannya terhenti pada buku yang ia bawa tadi, membukanya perlahan lalu menuliskan sesuatu di lembaran kosong buku itu.
.
Ku ingin cinta hadir untuk selamanya, bukan hanyalah untuk sementara.
Menyapa dan hilang, terbit tenggelam bagai pelangi yang indahnya hanya sesaat.
Untuk ku lihat dia mewarnai hari..
Prilly kembali menutup buku itu.
***
Prilly terus menunduk, agar tidak satupun orang melihat betapa buruk wajahnya kini.
"Prill"
Behenti, Prilly berhenti berjalan saat ada yang memanggil namanya, tapi ia tetap menatap ujung sepatunya.
"Prill, lo kenapa?"
Prilly akhirnya memberanikan diri untuk mendongak, melihat orang yang ada di hadapannya kini.
"Ali?" Prilly bergumam, bahkan nyaris seperti bisikan.
"Ngapain lo disini?" Ali menggeleng tak percaya, wajah yang kacau dan nada suara yang ketus itu yg di terima Ali pagi ini.
"Masih inget sama gue?"
"Gak gitu Prill, maksud gue itu-
"BASI!"
Ali tersentak, untung koridor kampus pagi itu sepi, setidaknya mereka tidak menjadi tontonan gratis.
"Gue tau Prill, gue keterlaluan sama lo tapi ini pilihan gue"
Prilly mengepalkan tangannya, yakin bahwa dia kuat, Bukan perempuan lemah.
"Kalau misalnya hari itu gak kejadian, gue gak bakal sesakit ini Li"
"Lo nyatain perasaan lo ke gue, lo bersikap manis ke gue, sampe-sampe lo bilang ke temen-temen lo itu kalau gue itu cewek lo, Li"
"Lo tau kan? Lo sadar kan apa yang lo lakuin?"
Ali diam, ia akui ini memang fatal.
"Gue cuma mau nanya satu hal sekarang"
Ali menatap Prilly seolah bertanya 'apa?'
"Maksud lo apa? Niat lo kayak gitu ke gue itu apa Li?"
Prilly menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang akan keluar lagi dari sudut matanya.
"Gua emang suka sama lo, tapi gue sadar gue bukan yang terbaik buat lo Prill"
Prilly masih diam, cairan bening itu akhirnya lolos dari mata indahnya.
"Gua gak mau bikin lo gak bahagia sama gue Prill"
Prilly mengangguk, lalu ia mengambil secarik kertas di dalam tasnya, Ali hanya memperhatikan gerak gerik perempuan itu.
Prilly memberikan kertasnya, lalu tersenyum, senyum yang penuh arti. Setelah itu ia pergi.
Ali membuka kertas itu, membaca tulisan tangan rapi di atasnya.
.
Tetaplah engkau disini.
Jangan datang lalu kau pergi.
Jangan anggap hatiku, jadi tempat persinggahan mu
Untuk cinta sesaat.Bila tak ingin disini, jangan berlalu-lalang lagi.
Biarkan lah hatiku, mencari cinta sejati.
Wahai cintaku, wahai cinta sesaat..
Bandung, 10 november 2016
har-ryy
Adiknya Luke Hemmings#hahaha_corp
.
.Next chapter: Teman palsu
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Hope
Teen FictionIni buku pertama kami, colabs with Mitha, Indira, Nia dan Zaza.