Prologue (A Whisper)

795 61 9
                                    

"Annalise?" panggil seseorang dari kejauhan.

Aku membuka mata---tersadar---namun tidak sepenuhnya. Gelap. Tak ada setitik cahaya pun yang masuk ke dalam pupil mataku. Aku mengerjapkan mataku, mencoba melihat apa yang terjadi di sekitarku.

"Annalise?" panggilnya lagi. Suara itu, tadinya di sisi kananku dan kini terdengar dari belakang. Suara asing, namun bukan pertama kalinya kudengar. Aku membalik badan dengan cepat, meskipun tak bisa melihat, aku mencoba mencari tahu siapa yang memanggil.

Udara disini begitu dingin, nafasku berat, aku bernafas dengan sesak. Ragu-ragu, aku mengambil langkah, satu langkah ke depan hingga mendadak terlihat cahaya yang begitu menyilaukan dari arah depan. Aku mengangkat tanganku ke udara, menutupi mataku yang sakit karena cahaya tersebut.

Dddrrtttt! Braaakkkk!

Aku menoleh ke sumber suara. Sebuah mobil terlihat menabrak pinggiran pagar rumah. Suara mesin mobil yang belum mati masih terdengar keras. Aku benar-benar gemetar saat ini. Aku mencoba berdiri tegak dengan kedua kakiku.

Hah, ini apa? Batinku bertanya-tanya.

Aku melangkah pelan ke arah mobil, hanya cahaya dari lampu mobil yang terlihat disini. Aku semakin dekat dengan mobil. Tetapi langkahku semakin pelan. Aku ragu, haruskah aku melihat mereka? Atau aku bisa pergi? Tapi aku harus pergi kemana? Aku menelan ludah, tak banyak yang bisa kulihat disini.

"Grams?" ucapku kaget.

Seorang wanita setengah baya terlihat di dalam mobil. Di belakang setir dengan kepala bersimbah darah. Dia mati?

Sejujurnya, aku kaget bukan karena melihat darah yang begitu banyak, tetapi, kenapa mulutku seenaknya memanggil dia dengan sebutan 'Grams'. Ini bukan kemauanku, aku bahkan tidak mengenalnya.

Aku menoleh cepat saat terdengar suara kembali. Aku menggeleng. Kepalaku pusing.

"Alice!" panggil seseorang. Aku menggeleng lagi. Kali ini, aku tahu suara yang tak asing ini. "Alice!"

Aku membuka mata dan terbangun dengan kaget. Beberapa buku dan penaku terjatuh ke lantai, menambah rasa kagetku. Aku menoleh, seseorang baru saja menendang bangkuku. Ia mengangkat kedua tangannya ke samping dan menggeleng.

"Dasar tukang tidur!" gerutunya.

"Eh?" gumamku bingung.

"Alice, kenapa kau selalu tertidur di kelas?" tanyanya kesal.

Mwo? Kelas? Ah, aku mengedarkan pandanganku. Yah, aku sedang di kelas dan kini pelajaran telah usai. Aku mengelus dadaku, kenapa rasa khawatir tidak menghilang dari hatiku? Apa yang ku khawatirkan? Nenek tadi?

"Hyaaa, kau melamun lagi?" tanyanya. Aku gelagapan mendengar pertanyaan itu. "Sudahlah, ayo pulang,"

"Oh, sebentar," kataku seraya membereskan buku-bukuku yang berantakan. Seperti biasa, dia menungguku, berdiri dengan bersandar di kusen pintu, tersenyum menatapku.

Aku berjalan selangkah di belakangnya. Ah, sial! Perasaan apa ini? Kenapa aku masih memikirkan mimpiku? Aku menggeleng pelan, kutarik tasku agar posisinya nyaman di punggung.

Buugg...

"Aawww!" ujarku sambil mengelus keningku. Aku baru saja menabrak sesuatu. "Kenapa berhenti mendadak sih?" aku menggerutu pada namja di depanku. Gara-gara ia berhenti melangkah, aku menabrak punggungnya yang tegap.

"Kau yang tidak fokus, Alice!" katanya yang kini membalik badan, berkacak pinggang di depanku. Aku menengadah, menatapnya dengan kesal.

"Jimin ah, aku ingin bertanya sesuatu," kataku padanya. Namja di hadapanku itu mengerutkan kening. "Aku serius,"

"Oh, katakan padaku," kata Jimin. Ia merangkulku, membawaku keluar dari halaman sekolah. Kami berjalan pelan menyusuri trotoar. "Aku rasa memang ada yang aneh denganmu belakangan ini. Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Molla, aku selalu bermimpi akhir-akhir ini," kataku.

"Mimpi seperti apa?" tanya Jimin. Aku melangkah sedikit lebih cepat. Jimin menyebalkan, sudah tahu kakinya lebih panjang dariku, tetapi ia tak mau melambatkan langkahnya. Oh, rasanya percuma ia mengajakku bicara.

"Geunyang, mimpi aneh yang berulang-ulang," kataku. Aku menunduk, ini adalah mimpi yang kesekian kalinya kudapatkan.

"Bukankah itu hanya mimpi?" tanya Jimin. Ia memang dingin dan menyebalkan. Aku memanyunkan bibirku. "Hah, Alice, itu semua karena kau selalu tertidur di kelas. Makanya kau mendapatkan mimpi buruk,"

"Aku tidak mengatakan itu adalah mimpi buruk," kataku. Aku menarik lengan Jimin sekuat yang kubisa hingga ia menghentikan langkahnya. "Ini yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau pernah mengalami hal seperti ini?"

"Seperti ini, apa?"

"Mimpi yang berulang-ulang!" kataku. Jimin menggeleng. "Lalu, seseorang memanggilmu, dia benar-benar memanggilmu! Meskipun itu bukan namamu, tapi kau merasa dia memanggilmu. Pernahkah kau mengalami hal ini?"

"Kau bicara sesuatu yang aneh, Alice," kata Jimin. Ia membelai rambutku perlahan. "Kau kebanyakan nonton anime dan drama,"

"Aku tidak menonton hal seperti itu lagi," kataku. "Ini benar-benar aneh, Jimin ah,"

"Hah, jadi apa yang sebenarnya terjadi, menurutmu?" tanya Jimin. Aku terdiam dan menunduk. Aku juga tidak tahu. Apakah aku terlalu parno? "Alice, geumanhae. Semua itu hanya mimpi, oh?"

"Ehmm, aku juga berharap seperti itu," kataku pada Jimin. Ia membelai rambutku sekali lagi.

Kami kembali melangkah menuju halte. Tak perlu menunggu lama, sebuah bis muncul di hadapan kami. Jimin dan aku masuk lalu memilih kursi paling belakang.

"Kau mau tahu seperti apa mimpiku tadi?" tanyaku pada Jimin. Ia mengedikkan bahunya. Pasti kesal dengan pembicaraan ini. "Aku melihat sebuah kecelakaan. Seseorang meninggal disana. Seorang nenek dan aku memanggilnya. Grams, Grams. Seolah dia adalah nenekku. Aku mengalami mimpi itu berkali-kali dan aku selalu merasa ketakutan disana. Dan juga, mereka memanggilku dengan nama yang beda,"

"Bagaimana mereka memanggilmu?" tanya Jimin yang kini terlihat sedikit lebih antusias.

"Annalise, seperti itu," jawabku.

"Siapa dia?"

"Molla," kataku.

"Sebenarnya ini sedikit menarik," kata Jimin. "Tapi bukan itu yang perlu kau khawatirkan. Besok pagi kita ulangan. Jangan sampai ketiduran lagi di kelas,"

Aku mengangguk dan memainkan ponselku. Aku mencari tahu beberapa makna dari mimpi yang kualami, tetapi aku belum menemukannya. Jika bisa disebut mimpi, itu memang hanya mimpi. Tetapi kenapa terasa begitu nyata? Bagaimana aku merasa ketakutan. Bagaimana cahaya itu menyilaukan mataku. Hah...dan nenek yang meninggal itu. Apakah ia yang memanggilku?

Annalise, begitu caranya memanggil. Tidak, ia berbisik. Aku masih bisa mendengar bisikannya di kepalaku. Entah mengapa, aku merasa, namaku bukan Alice lagi. Aku menggeleng, menyingkirkan bisikan itu dari dalam kepalaku. Ah, siapakah Annalise? Apakah ia berusaha mengambil alih pikiranku?

To be continued...

---This Ff, inspired from great story Alice In The Wonderland---

Welcome to my new FF
Apakah cukup menarik?
Hihi...kali ini author mau bawa genre adventure biar agak seru
Tentu saja bakal ada bumbu-bumbu Cinta nya disini

Happy reading...please put your comment and vote if you like this story...

Ethaloona

Alice In The Weird LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang