At The Cafe

221 36 5
                                    

Jimin menggandeng tangan Alice dengan erat. Ia memperlambat langkahnya untuk menyamakan irama kaki Alice yang cukup pendek. Keduanya menyusuri jalanan yang sepi. Tempat asing yang baru kedua kali ini mereka datangi.

"Alice, apa yang kau rasakan?" tanya Jimin saat mereka melewati sebuah rumah berukuran besar.

"Disini begitu sepi," gumam Alice. Yeoja itu memerhatikan sekelilingnya dengan seksama. Ia tak ingin melewatkan satupun hal dari pandangannya. Ia ingin menemukan sesuatu, yang mungkin bisa menyelesaikan segala keanehan dalam hidupnya belakangan ini.

"Benar, tak ada seorangpun disini," kata Jimin. Namja berusia delapan belas tahun itu mengernyitkan kening. Ia terheran dengan tempat asing itu. Beberapa kali tangannya merogoh kantong sekedar untuk mengecek apakah ada signal di ponselnya. Namun sama seperti terakhir kali mereka datang, ponsel mereka sama sekali tak mendapatkan jaringan.

"Aku pernah melihat ini, Jimin ah." Alice menarik tangan Jimin kuat-kuat. Ia menghentikan langkah di depan sebuah kawasan pertokoan. Lebih tepatnya di depan sebuah pintu berukuran besar dengan jendela kaca yang lebar. Ada papan nama di atas pintu dengan huruf-huruf asing.

"Tempat apa ini?"

"Ehm...molla...kurasa aku melihatnya dalam mimpi," kata Alice lagi. Ia memiringkan kepalanya, mencoba untuk membaca tulisan dalam papan nama.

Kedua orang itu melangkah mundur ketika tiba-tiba daun pintu terbuka lebar. Seseorang muncul dari balik pintu dengan senyuman lebar.

"Annalise!"  seru namja yang memakai apron berwarna pink cerah. "Kau datang!"

Alice dan Jimin saling bertatapan.

"Annalise...ini masih terlalu pagi untuk minum teh," kata namja berparas tampan tersebut.

"Kau mengenalku?" tanya Alice penasaran.

Namja tampan itu menautkan kedua alisnya. Ia terlihat begitu bingung dengan sikap Alice.

Alice

"Rupanya benar," ucap namja asing di depanku. Ia tersenyum dengan cara yang unik. Rasa-rasanya ada semacam ketakutan yang ia sembunyikan di balik senyuman manis itu. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Berharap bisa mencerna apa yang kulihat di dunia asing yang sebenarnya terasa begitu nyaman bagiku. Sungguh berbeda dengan dunia dimana aku berasa selama enam bulan terakhir setelah aku tersadar dari koma.

"Apanya yang benar?" tanyaku kemudian. Jimin mengeratkan genggamannya pada tanganku. Aku mengangguk pelan padanya agar ia percaya padaku.

"Kau menghilang dan muncul tiba-tiba. Tapi kau tidak mengingat apapun. Kau juga melupakan kebiasaanmu disini."

"Apa yang biasa kulakukan?"

"Masuklah! Aku akan menyajikan teh kesukaanmu," kata namja itu. Ia melemparkan seulas senyuman padaku sebelum akhirnya masuk ke dalam kedai teh miliknya. Benar, ini adalah kedai minum teh.

Aku berjengit kaget ketika Jimin menarik lenganku. Kubalik tubuhku yang sudah terlanjur memasuki kedai.

"Jangan lakukan ini!" kata Jimin tegas. "Kita tidak mengenalnya. Bisa saja dia..."

"Anniyo Jimin ah. Aku harus mencari tahu semuanya. Bukankah kau sudah berjanji untuk menemaniku?"

"Tapi...dia terlihat mencurigakan. Dan disini...tidakkah kau merasa disini begitu hening. Tak ada suara apapun hingga kurasa dia bisa mendengar ku berbisik seperti ini."

Jimin benar-benar terlihat khawatir. Sama seperti biasa. Aku tidak enak padanya. Wajah tampannya begitu pucat dan kaku. Ia menatap kedua manik mataku lurus. Aku hanya bisa menunduk jika ia terus melakukan itu padaku.

Alice In The Weird LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang