The Gambler And His Cards

221 34 8
                                    

Jimin

"Jimin aahhh!!!" kudengar suara lembut yang tiba-tiba menggetarkan gendang telingaku. Aku tak bergeming, masih memejamkan mataku. "Ji! Min! Jimiiiinnn aahh!"

Ia memanggilku lagi. Dengan irama lucu yang pasti dibarengi dengan ekspresi menggemaskan itu. Satu-satunya orang yang memiliki eksprrsi itu hanyalah Alice, tetanggaku, temanku dan yaahh...bisa dibilang dia adalah pacarku.

Kurasakan tangan mungilnya menyentuh keningku. Aku tak bergeming, bahkan ketika nafasnya terasa begitu dekat. Ia pasti menunduk, ke arah wajahku tanpa ragu.

"Jimin aahh...uri Jiminie sangat imut ketika tidur." suaranya begitu lembut dan menenangkan. Yeoja ini...

"Kau lama sekali!"

"Oh! Kau tidak tidur?" Alice membelalakkan matanya ketika aku memutuskan untuk membuka mata. Sudah hampir satu jam aku menunggu Alice di taman ini. Aku memutuskan untuk berbaring di rerumputan sembari menungguinya.

"Hah..."

"Kau begitu lama menungguku? Mianhae..." ujar Alice manja. Ia membalik badannya dan bergerak-gerak. "Aku membuat ini untukmu! Jadi aku sedikit terlambat. Mianhae!" kedua tangannya yang mungil terjulur padaku, membuka kotak kecil berwarna pink miliknya. Beberapa potong kimbab tersaji disana, ada telur gulung dan kimchi juga. Aku tersenyum. "Kau menyukainya?"

"Oohh...Alice, kau semakin pintar membuat masakan Korea," pujiku sambil mencomot salah satu makanannya.

"Kemarikan kepalamu," katanya sambil menepuk pahanya. Aku meringis, dengan cepat aku menggeser tubuhku dan menjadikan pahanya sebagai bantal. Alice menunduk, tersenyum dengan begitu manis. Ia menatap kedua bola mataku dengan lembut, teduh, sungguh ini tatapan yang tak akan ku lupakan sepanjang hidupku. Alice memiliki sepasang manik mata berwarna biru bening yang sangat indah. Matanya begitu lebar, berbeda sekali dengan yeoja Korea pada umumnya. Rambut Alice tergerai bebas dengan hembusan angin yang lembut, aku bisa membaui aroma shampo yang begitu kentara.

Aku mengerjapkan mataku, Alice membelai keningku dengan tangannya yang begitu mungil. Mendadak ia tertawa renyah. Aku tak mengerti apa yang membuatnya tertawa, tapi ia terlihat begitu ceria. Belum sempat aku bertanya, yeoja itu menengadah.

"Jimin ah! Awan itu terlihat sepertimu," ujar Alice.

"Mwoya? Bagaimana bisa ia terlihat sepertiku?" tanyaku tak terima.

"Geunyang..." gumam Alice.

"Geunyang? Hah...jinjja, Alice, kau mulai aneh lagi," ujarku. "Ah! Aaww!!" seruku ketika Alice menjentikkan jarinya ke keningku.

"Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan. Dan awan yang itu...aahhh itu mirip denganku," kata Alice. Ia menunjuk ke awan yang tak jauh dari 'awanku'.

"Mereka tak terlalu dekat," kataku.

"Ehmm...tetapi mereka akan selalu bersama Jimin ah. Mereka akan menjadi puluhan...ehm...ratusan titik hujan. Membasahi bumi dan mengalir bersama menuju lautan kembali melalui saluran-saluran bumi. Benarkan? Menjadi awan seperti itu tidak buruk."

Alice tersenyum ketika aku mengangguk. Pada akhirnya aku menyetujui ucapan Alice. Ia memang memiliki cara berpikir yang berbeda dengan orang lain. Ia terlalu sulit untuk dipahami dalam waktu yang singkat. Aku begitu menyukainya.

Alice terkekeh dan menunduk. Kembali ia menatapku dengan cara yang sama. Cara yang tak pernah berubah sepanjang aku mengenalnya.

***

Alice In The Weird LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang